Selasa, 03 April 2012

RETORIKA DAN PENGERTAIANNYA

 
BAB IVRETORIKA MEMBACAA.Pengertian Retorika
Retorika adalah kiat berbahasa yang didasarkan atas pengetahuan yangtersusun baik dan kemahiran yang telah dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu.Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang termasuk didalamretorika seperti keterampilan berbahasa yang lainnya (berbicara dan menulis).Dalam kegiatan membaca, pembaca memerlukan dasar pengetahuan yangtersusun baik dan kemahiran yang telah dikuasai.Agar dapat membaca secara efektif dan efisien, seorang pembaca harusdapat menggunakan dasar pengetahuan yang telah tersusun dengan baik dan dasar kemahiran yang telah dimiliki dengan benar dan tepat. Pembaca dapatmenggunakan keduanya dengan benar dan tepat jika pembaca mempunyai kiatdalam membaca. Kiat yang dimaksud adalah bagaimana pembaca memilih danmenggunakan model membaca, metode membaca, dan teknik membaca sesuaidengan kebutuhan.Retorika adalah kiat berbahasa yang didasarkan atas pengetahuan yangtersusun baik dan kemahiran yang telah dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu.Berbahasa merupakan kegiatan penggunaan bahasa untuk berkomunikasi.Penggunaan bahasa meliputi menyimak, berbicara, membaca, dna menulis.Menurut Tarigan (1990:1), keempatnya disebut keterampilan berbahasa(
language skill 
atau
language arts
). Berdasarkan pendapat tersebut, penggunaankeempat keterampilan tersebut memerlukan keterampilan tertentu.Supaya pemakaian bahasa dapat dilakukan secara efektif dan efisien,retorika tidak hanya diperlukan oleh pembicara dan penulis, namun dibutuhkan
62
   juga oleh penyimak dan pembaca. Dalam membaca, pembaca dituntutmempunyai kiat atau seni membaca agar dapat mencapai tujuan yangdiinginkannya. Apabila tujuan menulis adalah menyampaikan gagasan atauinformasi, tujuan membaca adalah menerima gagasan atau informasi. Informasidisampaikan oleh penulis dengan kiat agar gagasan dapat diterima oleh pembaca.Pembaca dalam menerima informasi yang disampaikan penulis perlu kiat jugasupaya ia dapat menerima informasi sesuai apa yang ditulis oleh penulis. Untuk itu, cakupan retorika perlu diperluas lagi yang tidak mencakup kiat berbicara danmenulis, tetapi juga kiat menyimak dan membaca.Membaca merupakan salah satu cakupan retorika. Seperti hanya padacakupan yang lain (berbicara dan menulis), membaca memerlukan dasa pengetahuan yang tersusun baik yang telah dimiliki dan kemahiran yang telahdikuasai. Dalam membaca, pembaca dituntut dapat menggunakan kedua dasar yang telah dimiliki dan dikuasai secara benar dan tepat agar dapat membacasecara efektif dan efisien. Untuk keperluan itu, pembaca harus mempunyai kiatmembaca. Kiat yang dimaksud bagaimana pembaca memilih dan menggunakanmodel, metode, dan teknik membaca secara tepat dan benar

RETORIKA

pengertian retorika


Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat , daya kreasi dan fantasi yang tinggi ,teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Ber-retorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, fikiran , kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata – kata yang tepat, benar dan mengesankan . ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif . jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek ? dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”

Mendidik Calon Pemimpin Bangsa yang Amanah


Mendidik Calon Pemimpin Bangsa yang Amanah

15-Sep-2011 oleh     Tidak ada Komentar    Posting didalam : Naskah, Tahun 2010

Oleh: Yulianto Wijaya, Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang  (UNNES).
(Pendekatan Pendidikan Karakter Melalui Metode Budaya Tradisional Terintegrasi Dengan Gerakan Pramuka).
Dewasa ini sering kita dengar kasus yang berkaitan dengan masalah degradasi moral para pemimpin negeri ini. Para politikus baik dari kelas teri hingga kelas kakap saling berlomba-lomba untuk meraup keuntungan masing-masing. Dari kopral hingga jenderal berbintang, semuanya berlomba untuk meraup keuntungan pribadi. Kasus korupsi terus merajalela di negara yang bangga dengan semangat kebhinekaannya ini. Dari korupsi waktu, uang, materi, hingga pembohongan public mereka lakukan demi memakmurkan pribadi dan golongan sendiri. Tak jarang rakyat kecil yang menjadi korban, tak jarang mereka yang kaya semakin kaya, dan rakyat yang miskin bertambah sengsara.
Sebenarnya apa yang salah pada negara kita? Negara yang semenjak era kerajaan berabad-abad lalu dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, sebagai bumi yang gemah ripah loh jinawi, sebagai negara yang memiliki kekayaan tambang yang melimpah, dan kaya akan iklim yang tropis, bahkan tak jarang kita dengar hutan-hutan di Indonesia terutama yang tersebar di kepulauan Sumatera, Kalimantan, ataupun Papua sebagai hutan dengan kekayaan plasma nutfah terlengkap di seluruh dunia. Namun kenapa dengan segala potensi yang melimpah itu kita masih saja disebut sebagai negara berkembang, yang tak tahu mau dibawa kemana arah perkembangannya ini, sebenarnya apa yang kurang dari negara kita? Kepemimpinan yang penuh moral dan tanggung jawab, itulah yang kita butuhkan. Sebab pemimpin adalah pemegang kemudi laju pertumbuhan negara kita. Sebab pemimpin ibarat nahkoda yang melayarkan “kapal” pemerintahan negeri ini, yang menentukan perkembangan negara ini mengalami pasang atau surut, tapi bila pemimpinnya tidak amanah, maka tak ayal kapal pemerintahan negeri ini akan karam di terjang gelombang globalisasi.
Bila kita tilik dalam mekanisme pemilihan para pemimpin kita, maka terkadang kita bertanya-tanya, benarkah mekanisme sistem pemilihan yang berazaskan LUBER JURDIL ini telah tepat? Marilah kita tengok pada sebuah contoh kecil pemilihan pemimpin di sebuah desa (kepala desa). Seorang calon kepala desa biasanya menggunakan uang pribadi untuk berkampanye meraih simpati masyarakat sasaran. Bahkan tidak jarang mereka menerima “sumbangan” dari para donatur yang tentunya setelah ia terpilih sebagai pemimpin diharapkan ada mekanisme “balas jasa” pada pihak-pihak donator tersebut. Tak jarang pula kita dengar dan bahkan sudah menjadi rahasia umum bila sistem kampanye uang masih dianggap ampuh. Padahal bila kita tilik dari pendapatan maksimal seorang kepala desa selama satu periode kepemimpinannya (lima tahun) tidak akan cukup untuk menutup “modal” yang dikeluarkannya untuk mendapatkan jabatan tersebut. Jadi pasti selama kinerjanya dalam lima tahun, pasti ibarat orang pedagang sang kepala desa ini akan mencari cara agar bias menutup modal yang dikeluarkan untuk menjadi kepala desa, jadi “kesepakatan” tidak bertanggung jawab pasti akan dilakukan untuk mengembalikan modal atau bahkan untuk mencari untung. Jadi pada pemimpin yang seperti ini, KORUPSI akan menjadi pilihan alternatif yang akan senantiasa dicoba untuk dilakukan. Sudah menjadi rahasia umum bila kasus seperti diatas tidak hanya terjadi pada pemimpin tingkat bawah saja tapi juga pada tingkat diatasnya. Sehingga marilah kita renungkan bersama, bila para pemimpin disibukkan untuk mencari keuntungan pribadi semata maka bagaimana mungkin mereka bias maksimal membela rakyat? Jadi sebenarnya bagaimana cara yang tepat untuk memilih pemimpin yang bertanggung jawab dan amanah?
Seorang pemimpin adalah seorang yang memang di didik sejak dini untuk menjadi pemimpin. Karena pada dasarnya keinginan memimpin dan untuk tampil dimuka umum adalah keinginan hakiki setiap manusia. Namun hanya orang-orang tertentu saja yang punya kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik. Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka penulis mengajukan sebuah terobosan baru dengan menggabungkan segala unsur yang ada di masyarakat untuk menghasilkan calon pemimpin yang amanah. Sebab pada dasarnya negara kita ini tidaklah kekurangan orang pintar dan cerdas, hal ini terlihat dari banyaknya orang yang bergelar professor, doctor, master, megister, ataupun sarjana. Tapi mengapa negara kita tetap tidak lebih baik, padal kita ibarat berdiri diatas berlian. Terobosan yang penulis tawarkan adalah konsep pembentukan karakter calon pemimpin dengan metode budaya tradisional terintegrasi dengan gerakan pramuka.
Metode ini adalah gabungan antara permainan tradisional dengan pembelajaran kepemimpinan dalam gerakan pramuka. Jadi disini metode ini diharapkan dilakukan bertahap. Tahap pertama adalah anak usia prasekolah (usia < 5 tahun), pada tahap ini metode pelatihan kepemimpinan yang dilakukan adalah dengan permainan betengan. Permainan ini adalah salah satu jenis permainan tradisional. Permainan ini dilakukan dengan cara membagi para pemain dalam dua kelompok. Yang mana pada satu kelompok biasanya terdiri 4 sampai 10 orang yang mana 1 orang dijadikan sebagai pemimpin, dan yang lain sebagai anak buah. Masing-masing kelompok memiliki beteng (biasanya terbuat dari sepotong bampu setinggi 2 meter yang ditancapkan) masing-masing. Jarak antar beteng biasanya 3 sampai 5 meter. Beteng ini berfungsi sebagai markas, jadi kelompok mana yang anggotanya paling banyak bisa menyentuh beteng lawannya dikatakan sebagai pemenang. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam upaya menyentuh beteng ini seorang pemain harus dihadapkan satu lawan satu (yang biasanya disertai dengan adegan kejar-kejaran), dan bila sampai tertangkap maka ia akan “dipenjara”, selanjutnya pihak pemimpinnya akan berusaha menebus anak  buahnya sesuai dengan permintaan pihak lawan, disinilah strategi dan kejujuran serta kekompakkan dibutuhkan untuk menjadi kelompok pemenang. Jadi inti dari permainan diatas diharapkan dapat melatih ketangkasan, intuisi, kejujuran, serta kekompakkan dalam suatu kelompok sehingga permainan yang dilakukan ini dapat merangsang jiwa kepimpinan anak-anak sejak dini.
Tahap yang kedua adalah tahap usia sekolah (sejak SD hingga SMA). Disinipun sebenarnya dapat kita bedakan lagi dalam dua tahapan, yakni tahap usia bermain (SD) dan usia remaja-dewasa (SMP-SMA). Pada tahap usia bermain ini selain dibekali dengan materi pramuka di sekolah yang mengajarkan cara menjadi pemimpin yang baik, berjiwa kesatria, suka menolong, dan dapat dipercaya anak-anak juga masih bisa bermain selepas masa belajarnya, dan permainan pada tahap sebelumnya sangatlah dianjurkan guna mendukung pemaksimalan pemahaman dalam pengembangan pribadinya. Sedangkan pada tahap remajadewasa, dimana pada tahap ini mereka sudah merasa tidak pantas lagi bermain seperti pada tahap pertama, jadi diharapkan pendidikan pramuka lebih dapat mendominasi agar remajaremaja ini memiliki aktifitas yang mendidik. Pramuka diharapkan mampu mengarahkan calon pemimpin ini menemukan jati dirinya, dengan di dukung oleh agama, lingkungan, akademik, dan partisipasi orang-orang terdekat diharapkan mampu menjadi bekal dalam memasuki tahap selanjutnya (jenjang perkuliahan) dimana mereka calon permimpin ini mencari bekal hidup dan diharapkan setelah adanya tahapan-tahapan sebelumnya yang tersistem dapat menghasilkan karakter yang kuat dalam menjadi pemimpin yang amanah.
Apa yang penulis kemukakan diatas adalah contoh sederhana sebuah metode yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan potensi-potensi yang ada. Namun dengan potensipotensi yang biasanya dianggap sederhana dan kadang dilupakan ini diharapkan dapat mendongkrak sebuah pembentukan karakter calon pemimpin yang amanah. Sebab negara ini adalah negara yang kaya, negara yang banya memiliki sumber daya alam baik yang tersebar di darat di laut ataupun yang tersimpsn dalam perut bumi yang menunggu diolah dan dimanfattkan. Negara ini pun bukan negara yang kekurangan orang cerdas, sebutlah B.J Habibie tokoh Indonesia yang kecerdasannya telah diakui dunia, serta masih banyak potensi dari putra-putri daerah yang cerdas yang siap untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan negara ini. Namun diharapkan dengan metode yang sederhana ini dapat membentuk insaninsan bangsa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga memiliki moral yang baik. Sehingga pembangunan negeri ini dapat mencapai sebuah titik puncaknya, tidak lagi dikenal sebagai negara berkembang tapi dapat dikenal pula sebagai negara yang maju, tidak lagi dinenal sebagai negara yang miskin, tapi dikenal sebagai negara yang kaya. Wahai negaraku,tetaplah jaya dalam kepemimpinan putra-putri terbaikmu. Akhir kata semoga bangsa ini kembali dapat menunjukkan “taringnya” sebagai Macan Asia lewat kinerja pemimpinnya yang amanah dan bermoral. “……….Indonesia sejak dulu kala selalu dipuja-puja bangsa.”
Biodata

Senin, 02 April 2012

Leopold Maseo Permisi numpang lewat:....Selama kita masih hidup, kita selalu punya dua(2) pilihan; - Mau menjadi pribadi yg hanya mau mengecam dan menyesal ATAU mau menjadi pribadi yg bergerak dan menciptakan KEBAIKAN? Selamat Pagi, selamat hari Minggu... SAhabat Facebook... mari kita ciptakan KEBAIKAN setiap hari dengan Gerakan mewujudkan Perubahan MITRA lebih baik dan sejahtra ke depan.
Minggu pukul 7:01 · · 2                        Pilkada Mitra selamat hari minggu buat samua..qta so ketinggalan perkembangan dsni,tnyta pak Leo so mulai intens di dunia maya katu..sekedar usul buat pak Leo,ada bagusnya pak leo memakai nama LEO MASEO di akun FB,jd biar gampang orng mo kenal trus mo batamang..yg kedua,krn sekalian pak Leo so mulai ja ba aktif dsni,qta ada pertanyaan yg qta rasa trg dsni pun perlu tau,qta p pertanyaan:
1. apakah pak Leo siap dicalonkan nanti untuk memimpin MITRA kedepan..?
2. apa yg pak Leo utamakan dalam kepemimpinan bapak klo nanti terpilih..?
3. program apa yg akan bapak lakukan untuk memajukan MITRA ddalam segala hal jika nanti terpilih..?
maaf pak Leo klo qta batanya di forum bgni,bisa saja qta cm mo inbox pa bapak,tp qta rasa ini sekalian perkenalan jo for torang samua yg ada di forum ini(hitung2 skalian promosi program pak..hehehee)..
dalam hal ini qta ndk memaksakan bapak harus menjawab langsung dsni,tp ada baiknya biar qta dsni tau cara pandang dan pemikiran kedepan dr bapak yg menjadi salah satu kandidat bakal calon untuk pilbup nanti..thank's sebelumnya..salam patokon esa..!!
                                                                                        
  • Pilkada Mitra ‎@Ronny Soputan..ga ada salahnya kan qta batanya? mmg qta salah satu yg se nae pak Leo p nama..tp jujur qta ndk pernah dengar langsung dr beliau kesiapannya untuk maju nanti,krn dr berbagai sumber yg qta dengar ato temui langsung,pak Leo blom pernah secara TEGAS menyatakannya..kan klo beliau posting dsni,qta masyarakat "dunia maya" MITRA sudah punya gambaran pasti..
    klo masalah RS angkat ttg tanah tak bertuan,qta SANGAT SETUJU klo dimanfaatkan untuk lahan pertanian..karena salah satu penghasilan masyarakat MITRA dari pertanian..tinggal pemimpinnya yg mengalokasikan lahan agar dpt di daya gunakan semaksimal mungkin yg berdampak pada penunjang taraf hidup dari masyarakat itu sendiri dalam hal ini petani..sehingga dengan demikian kemajuan suatu daerah terlebih khusus pemerintahannya bukan sekedar dari pembangunannya saja tapi dapat dicermin dari tingkat ekonomi rakyatnya sendiri..mudah2an itu ada dlm visi pak Leo kedepan..
    Minggu pukul 15:37 · · 1
  • Ronny Soputan Pilkada Mitra: angko ndak salah batanya. Justru keterbukaan yang angko sampaikan di forum ini sangat menarik. Mata pencaharian utama Tou-MiTra adalah di bidang pertanian dan itu tercantum pada Rencana Tata Ruang Wilayah. Walaupun RTRW tersebut belum di sahkan oleh DPRD MiTra (mungkin stow). Kalau tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) dimanfaatkan dapat di atur dengan baik, tentunya sesuai dengan peraturan/per-undang2an untuk dimanfaatkan oleh petani, pasti akan meningkatkan pendapatannya, dan kalau petani rajin bayar pajak, maka pendapatan asli daerah (PAD) meningkat (maaf saya tidak bermaksud menggurui pa angko). Ehm......betapa majunya tanah kelahiran torang. Dengan catatan, pemimpin MiTra ke depan adalah pemimpin yang benar-benar memiliki kepedulian kepada petani.
    Minggu pukul 15:50 · · 1
  • Mic Kantana Sorry....maksudnya diatas asli Putra MITRA seorg BIROKRAT yg punya kelebihannya bukan cuma tau atau pintar management dan seorg leader di perusahaan dlm & luar negeri.....itu saja tidak cukup utk 4 mo bacalon Bupati Mitra.....kalo dp hepeng sih....ok but leadershipx pasti nanti sami mawon with Bunda MITRA hehehe.....s'ry so ikut2an dn Nona Rengke....maklum wewene.com....Minggu pukul 21:14 ·
 

Kamis, 19 Januari 2012

CHINA DAN KEMAJUANNYA

MultiplyLogo
CARI

Situs Masad's



Blog EntriMay 4, '11 12:18 AM
untuk semuanya
Masad Masrur
Konon, jaman dahulu kala ketika Nabi masih hidup, beliau berpesan agar ummatnya “belajar sampai jauh, bahkan sampai negeri China sekalipun”. Thalabul Ilmi Walau Bitstsin¸ demikian pesannya. Melihat pesan ini, kita lantas berfikir, ada apa, dimana, kapan, bilamana, dan bagaimana sesungguhnya China itu.
China adalah peradaban yang kenyang akan pengalaman dan mungkin memiliki filosofi yang kurang dikenal. China juga jauh sekali dengan Madinah dan Jazirah Arab yang ditinggali Nabi dan ummatnya. Tetapi, kenapa harus China? Sebab saat itu, peradaban besar lain juga sedang berkembang, seperti Romawi, Persia, ataupun Mesir yang menjadi kiblat peradaban-peradaban dunia. Jadi, kenapa harus China. Memang, tidak orang segera dapat menjawab pesan Nabi.
Dalam bayangan saya saat ini, China telah mewakili percepatan kemajuan sebuah negara yang luar biasa. Sebab, konon sejarahnya, meskipun China memiliki sejarah kuno ratusan tahun sebelum Masehi, tetapi China runtuh bersamaan dengan selesainya kekuasaan Kaisar Pu Yi awal abad ke-20. Bahkan China pernah dijajah Jepang dan seusai Perang Dunia II, memiliki start yang sama dengan Indonesia. Sama-sama negara terpuruk akibat penjajahan.  China bahkan ikut hadir dalam konferensi bikinan Pak Karno dan kawan-kawannya: KTT Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.
Kepemimpinan Soekarno di Indonesia dan Mao Zedong di China dilalui pada “zaman ideologi”, dimana negara-negara baru merdeka, umumnya masih membangun dasar yang kuat bagi eksistensi negaranya. Pasca Soekarno dan Mao, kedua negara dipimpin oleh pemimpin yang sesungguhnya berorientasi pada pembangunan ekonomi. Soeharto “meninggalkan” Soekarno, Deng Xiaoping pun “meninggalkan” Mao. Sedikit demi sedikit kedua pemimpin ini meninggalkan kepemimpinan ideologis, dan mulai membangun dengan caranya masing-masing. Soeharto mengideologikan pembangunan sentralistis, sementara Deng mulai tidak peduli dengan ideologi komunis. Kepemimpinan Deng tidak komunis-komunis amat. Bahkan berusaha mencapai tujuan tanpa pandang bulu. “Tidak peduli warna bulunya, asal kucing bisa menangkap tikus,” demikian kata Deng Xiaoping.
Hasilnya bisa dilihat kemudian. Ketika seolah-olah Indonesia di era Soeharto begitu cepat berkembang, sampai-sampai disebut sebagai Macan Asia bersama Singapura, Korea, Taiwan dan lain-lain, tetapi di era Soeharto pulalah prediksi ini runtuh. Krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis multidimensi, menunjukkan kegagalan konsep pembangunan sentralistis yang dibangun Soeharto.
Sebaliknya, Deng Xiaoping yang awalnya ditentang karena mengenalkan sistem “kapitalisme ala komunis” di tahun 1978, justru menuai hasil pada tahun 1990an, dimana negeri ini tancap gas meninggalkan “kekumuhan ekonomi China” di era Mao. Saya mencatat, bahwa seusai Tragedi Tiananmen tahun 1989, China seperti diingatkan untuk fokus pada kemajuan ekonomi dengan dukungan stabilitas politik yang kuat. Dan inilah yang mereka lakukan.
Kekuasaan pejabat lokal ditingkatkan, memasang manajer dalam industri, mengijinkan perusahaan skala-kecil dalam jasa dan produksi ringan, membuka perdagangan asing dan investasi, dan melonggarkan pengawasan harga. Pemerintah China menekankan peningkatan pendapatan pribadi dan konsumsi, dan memperkenalkan sistem manajemen baru untuk meningkatkan produktivitas. Perdagangan asing diupayakan sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi. Menurut Wikipedia, Pemerintah China telah memembangun lebih dari 2000 Zona Ekonomi Khusus, di mana hukum investasi direnggangkan, untuk menarik modal asing. Hasilnya adalah PDB yang berlipat empat kali lipat sejak 1978. Pada 1999 dengan jumlah populasi 1,25 miliar orang dan PDB hanya $3.800 per kapita, Cina menjadi kekuatan ekonomi keenam terbesar di dunia dari segi nilai tukar dan ketiga terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam daya beli. Perkembangan ekonomi Cina diyakini sebagai salah satu yang tercepat di dunia, sekitar 7-8% per tahun.
Olimpiade Beijing 2008 yang konon menjadi olimpiade terbesar dalam sejarah umat manusia diasosiasikan dengan kemakmuran dalam kebudayaan China. Moto Olimpiade 2008 adalah “Satu Dunia, Satu Impian”, dan inilah yang memang diinginkan China pada dunia: “bermimpi bersama”.
Kemajuan China yang supercepat ini jangan kita bandingkan dengan ekonomi Indonesia kini. Sebab kegagalan pemimpin-pemimpin kita pascareformasi akan sulit terkejar, apalagi perubahan yang diinginkan hanyalah perubahan politik yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor lain. Tanpa melupakan otoriterisme ala komunis yang masih dipertahankan pemimpin-pemimpinnya, kini China-lah yang memang paling layak untuk dipelajari. Paling tidak sikap para pemimpin China yang tidak ingin menjadi “globo-cop” menyaingi Amerika, menunjukkan bahwa sesungguhnya merekalah yang paling pantas menandingi kekuatan Amerika sekarang.
Tidak ada kesamaan China dengan Indonesia yang saya catat saat ini, kecuali hanyalah jumlah penduduk yang sama-sama banyak. Hanya perbedaanlah yang makin menunjukkan perbedaan keduanya: memanfaatkan jumlah sumberdaya manusianya. Dengan jumlah penduduk yang banyak, indonesia bisa mundur, tetapi dengan jumlah penduduk yang banyak, China bisa maju. Jadi, betul kata Rasull dulu, China memang negara yang diperlukan untuk dipelajari.*
Blog EntriApr 24, '11 11:07 AM
untuk semuanya
Masad Masrur
Ketika saya masih belajar di Sekolah Madrasah, waktu SD dulu, Pak Komari, ustadz saya, mengatakan bahwa kemanapun kamu memalingkan wajah, disitulah kau temui wajah Allah.
Saya sendiri lupa, ia sedang menjelaskan apa. Tetapi, menjelang tulisan ini saya bikin, dan setelah mengklik sana-sini, rupanya Pak Komari sedang menjelaskan QS. Al Baqarah, 2:115. Intinya adalah Fa ainamaa tuwalluu fa tsamma wajhullaahi” yang artinya: maka kemana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah. Allah mepunyai kekuasaan atas apa yang diciptakanNya, jadi mustahil tidak mengetahui apapun yang Ia ciptakan. Allah Mahaluas kekuasaan-Nya karena Dia bukan hanya menguasai Timur dan Barat, tapi seluruh alam semesta dengan segala isinya adalah milikNya. Karena Dia Maha luas kekuasaannya, jangan dibayangkan Allah lantas sibuk mengurus makhluknya. Tidak ada sulitnya bagi Allah untuk mencipta, yang tidak bedanya dengan Allah memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya.
Tetapi, makna Barat dan Timur yang berkembang dalam pengertian saat ini, bukan hanya sekedar menunjukkan arah dengan jari telunjuk. Tetapi Barat, merujuk kepada negara-negara yang berada di benua Eropa dan Amerika, termasuk Australia dan Selandia Baru, dimana mereka rata-rata berkulit putih dan bule. Dunia Barat dibedakan dari dunia Timur yang digunakan untuk merujuk kepada Asia. Negara-negara Arab, Israel dan Turki dikategorikan sebagai negara Timur Tengah atau kadangkala Timur Dekat. Sementara itu negara-negara Asia di sebelah timur India, disebut sebagai Timur Jauh.
Selain pengertian kewilayahan, Barat juga diartikan sebagai sekuler, liberal, modern, nasrani yang bertolak belakang dengan sifat-sifat Timur yang tradisional, konservatif, dan Islam. Secara sempit bahkan, orang sering menyebut Timur saat ini mewakili penyebutan masyarakat muslim yang relatif tertinggal.
Sesudah Uni Soviet jatuh, memang masih ada China yang mewakili istilah Timur. Tetapi muslim dan Islam lebih populer. Bukan hanya karena kemuslimannya, Timurpun seringkali ditulis dengan nada peyoratif, dimana masyarakatnya tertinggal, miskin, kuno, kemudian otoriter, tidak demokratis dan sebagainya. Istilah ini lantas diperlawankan dengan istilah Barat, dimana mereka akhirnya menjadi “musuh” sepanjang masa dan tidak akan pernah bertemu sampai kapanpun. Persaingan antara Timur dan Barat tidak pernah usai. Semenjak sebelum Perang Salib atau Perang Sabil terjadi, persaingan merekapun cukup “ketat”. Ini soal peradaban, dimana silihbergantinya penguasa zaman selalu dipergilirkan diantara mereka berdua. Maka tak aneh, ketika terjadi agresi militer, perlombaan senjata, ataupun invasi tentara dari satu negara ke negara lainnya, obyek penyertanya adalah Barat dan Timur. Iraq, Afganistan, dan kini Libya, mungkin sedang “mewakili” Timur, sebagaimana yang disampaikan Vladimir Putin yang menolak intervensi AS atas Libya akhir-akhir ini.
Meskipun rivalitas antara Timur dan Barat telah berlangsung lama dan seru. Istilah Utara dan Selatan akhirnya dimunculkan untuk mengganti wacana ini.
Utara untuk menyebut negara-negara ekonomi maju, menindas, dan pemberi hutang, sementara Selatan untuk menyebut negara-negara ekonomi lemah, tertindas, dan penghutang. Negara-negara maju di dunia ini mungkin memang lebih banyak di belahan utara kecuali Australia dan Selandia Baru, tetapi miskinnya negara-negara Selatan akhirnya juga mewakili istilah Timur yang memang kebanyakan dizalimi Utara. Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan, termasuk Asia Tenggara sering disebut sebagai negara Selatan, yang terus-terusan berhutang dan mencoba lepas dari jeratan korporatisme dunia (Barat-Utara) tetapi tetap saja kesulitan. Mereka paling-paling hanya bisa mengecam, menolak, mengisolasi diri, tanpa bisa berkolaborasi dengan negara-negara sesama Selatan untuk maju bersama. Ahmadinejad, Hugo Chaves, Fidel Castro, pemimpin-pemimpin negara di Afrika, paling-paling hanya bisa mengecam AS, Italia, atau Inggris yang mengancam kepentingan negara-negara Selatan-Timur. Rasanya masih sulit Utara-Barat diimbangi Selatan-Timur meskipun istilah ini juga seringkali dianggap tidak relevan. Dan capek rasanya melihat persaingan, rebutan pengaruh, perlawanan dan hal-hal lain yang tidak konstruktif.
Justru yang penting, yang kiranya bisa selalu diingat, paling tidak untuk mengeliminasi persaingan antarperadaban ini, adalah Fa ainamaa tuwalluu fa tsamma wajhullaahi, yang tidak perlu mempertentangkan sesamanya, tetapi mengambil hikmah dari setiap perkembangan yang terjadi di setiap belahan dunia. Saya kira ini lebih afdol, sebab dengan demikian, konsentrasi dunia ini lebih pada menegakkan keadilan antarsesamanya. Bukankah kemana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah? Wallahu’alam.*
Blog EntriApr 24, '11 11:06 AM
untuk semuanya
Masad Masrur
Libya, sebagaimana Irak dan afganistan, akhirnya dibombardir Amerika dan Sekutu. Libya adalah salah satu negara (kerajaan) di Afrika Utara, yang pada zamannya pernah mencapai masa keemasan. Afrika Utara, sebagaimana Mesir, Tunisia, Aljazair, tentu adalah wilayah bekas “jajahan” Kekhalifahan Islam, baik Dinasti Fatimiyah Mesir ataupun Dinasti Usmani Turki. Namun, siapapun yang menguasai wilayah Afrika Utara ini, tentu ia pernah berjaya dengan simbol-simbol Islam yang menjadi identitasnya.
Saya membayangkan. Sekian lama dinasti-dinasti Islam yang sempat berjaya zaman dahulu, pasti sulit membayangkan bahwa kejayaan mereka akan runtuh tak berbekas. Jangankan membayangkan bahwa kekhalifahan Islam akhirnya terhapus dari muka bumi, membayangkan keruntuhan mereka sendiri pun tidak terlintas.
Setelah Khulafaur Rasyidin, kekhalifahan Islam memang terus berjaya, bahkan mampu menggeser kekuatan dunia saat itu, seperti kekuatan Romawi, Persia, Mesir, India, bahkan China. Romawi Timur, jatuh dan dikuasai Islam hingga mereka menjadi kiblat terakhir kekhalifahan Islam, yaitu Usmani. Mesir yang sebelumnya dikuasai oleh para fir’aun sekian ratus tahun lamanya, dikuasai dan menegakkan kekhalifahan Islam hingga masa kolonial. India juga begitu, dinasti Moghul hingga kini masih menyisakan peninggalannya yang luar biasa megah, seperti Mumtaz Mahal dan sebagainya. Hanya China yang belum dikuasai kekhalifahan Islam sehingga mengadopsinya menggeser kekaisaran disana. Namun, sejarah mencatat, pengaruh Islam di China amat besar.
Baghdad yang menjadi Ibukota Islam beratus tahun lamanya, dan tak seorangpun yang berani membayangkan keruntuhannya, konon pernah dilihat “terangnya” dari bulan karena tidak ada yang menandingi kemajuan kota itu. Kejayaannya pada masa Dinasti Abbas sulit dipungkiri dan dilupakan orang. Kejayaan sastranya, ilmu dan teknologinya, sikap pluralismenya, kemajuan rakyatnya, mungkin saat ini, saya hanya membayangkan bahwa Baghdad saat itu ibarat New York saat ini.
Tetapi siapa yang menyangka, sebagaimana yang pernah disampaikan Rasull bahwa kejayaan sebuah peradaban di dunia ini akan saling dipergilirkan, akhirnya Baghdad dibombardir Amerika dan sekutunya. Saddam Hussein yang menjadi penguasa Baghdad, tewas digantung. Sungguh sangat ironis, dimana mantan penguasa kota dan kekhalifahan (Islam) terbesar di dunia, mati digantung. Irak, sebagaimana kejayaan Islam masa lalu, habis punah ditelan kemajuan dan kegagahan peradaban lain yang sedang mendapat “giliran” merajai dunia, yaitu Barat.
Inilah titik terendah kemajuan Islam saat ini. Hampir seluruh wilayah negara Islam yang pernah berjaya, dikuasai Barat tanpa bekas. Arab Saudi, Qatar, UEA, dan kerajaan-kerajaan Islam yang saat ini kaya karena minyaknya, sama sekali tidak berkutik dan tidak menampakkan solidaritas Islam sebagimana dahulu. Yang tinggal hanyalah Afganistan, Pakistan, Irak, Palestina, Senegal, Nigeria, Tunisia, Iran, Mesir, dan lain-lain termasuk Libya, yang lumpuh tanpa perlawanan. Turki, dimana kekhalifahan terakhir bertahan, ibarat the sick man in Europe yang tidak berdaya guna. Dan, saat ini kita melihat Libya tak berdaya sama sekali, baik berdaya kepemimpinannya, maupun ilmu dan teknologinya. Pemimpinnya diktator, negaranya miskin, kesenjangan sangat nampak jelas, iptek dan kemajuan kemiliterannya yang aus, menunjukkan bahwa Libya pun sebenarnya juga “mewakili” kondisi negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Melihat kondisi seperti ini, lantas dunia “berpaling”, siapa sebenarnya yang bisa diidentikkan dengan Islam yang pernah berjaya itu. Iran, sama sekali tidak, karena etnisitasnya yang kental. Turki, bukan cermin negara Islam lagi karena berkiblat ke Barat. India, disana Hindu adalah mayoritas, sementara muslimnya hanya sempat menguasai kerajaan tanpa menguasai rakyatnya. Sementara Malaysia, Indonesia, dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara tidak pernah “terang-terangan” mengaku sebagai negara Islam. Disini Islam hanya sebagai semata-mata agama, bukan ideologi, simbol, apalagi dasar negara. Islam disini sama sebagaimana agama lainnya, seperti Katolik, Hindu dan sebagainya. Disini Islam hanyalah agama yang dipeluk mayoritas penduduknya.
Namun, saya melihat. Di tengah pesismisme terhadap dunia Islam, orang lantas “menggadang-gadang” wilayah ini yang akan tumbuh mewakili Islam yang “sesungguhnya”, yang toleran dan memungkinkan warganya mengembangkan ilmu dan teknologi secara maksimal. Bukan mempertentangkan fahan-faham, menggembangkan kediktatoran, dan memperburuk toleransi sebagaimana yang terjadi di negara-negara Islam lain. Artinya, banyak orang berpandangan bahwa inilah “Islam yang dikehendaki”, yang saya yakin pernah terjadi di jaman dahulu kala, yang bukan tidak mungkin akan mengulangi kejayaannya masa lalu. Syaratnya adalah, jika wilayah ini mampu menyelesaikan problem paham ekstrim yang berkembang, bukan tidak mungkin “Islam yang dikehendaki” ini akan muncul disini. Wallahu’alam bishowab, hanya Tuhan yang tahu.*s
Blog EntriApr 24, '11 11:05 AM
untuk semuanya
Oleh Masad Masrur


Ketika saya masih SD, bapak saya selalu membelikan majalah Bobo. Di majalah ini ada komik mingguan Pak Janggut yang memuat tentang perjalanannya ke “negeri timur”. Negeri Timur, dalam bayangan saya adalah negeri yang jauh di sebelah timur negeri kita. Namun, ketika perjalanan Pak Janggut ke negeri timur diceritakan sebagai perjalanan ke negeri padang pasir, saya lantas berfikir, bahwa negeri timur adalah wilayah timurnya Eropa. Wajar, Pak Janggut adalah komik Belanda, kisahnya di Eropa Barat, sehingga menyebut timur adalah negeri di timur Eropa.
Negeri Timur, banyak disebut juga dalam literatur Barat, karena eurosentris dipakai sebagai patokan untuk menyebut negeri lainnya. Ada Timur Dekat, ada Timur Tengah, dan Timur Jauh. Timur dekat awalnya untuk menyebut Turki dan jajahannya. Namun semenjak Turki jatuh dan jajahannya berdiri sebagai negara merdeka, istilah ini jarang dipakai. Sementara Timur Tengah, untuk menyebut daerah Afrika Utara, wilayah Jazirah Arab, sampai bagian barat India, masih dipakai. Demikian pula, Timur Jauh, untuk menyebut wilayah China, Mongolia, Korea dan Jepang, juga masih kerap dipakai hingga sekarang. Kongkretnya, untuk mengetahui asal muasal istilah Negeri Timur ini, anda bisa klik wikipedia.
Belakangan kita disuguhkan oleh bermacam berita mengenai masalah di Timur Tengah. Dari soal Tunisia yang merembet ke Mesir, berita demonstrasi mengenai tuntutan terhadap status quo juga muncul di Negara-negara Timur Tengah lainnya. Belakangan yang sedang ramai adalah di Yaman, Suriah, Bahrain dan Iran. Segera orang meramalkan bahwa akan terjadi “gelombang demokratisasi” di negara-negara Timur Tengah, sebab negara-negara kaya minyak lainnya juga sedang mengalami “masuk angin”, dimana muncul tuntutan terhadap reformasi politik di negara-negara itu. Hanya, masalahnya adalah, benarkah betul akan ada gelombang demokratisasi, atau sebut saja gelombang demokratisasi keempat, di Timur Tengah ini.
Gelombang demokratisasi yang melanda negara-negara di dunia, pernah ditulis Samuel P. Huntington dalam tesisnya. Ia menyebut bahwa gelombang demokratisasi pertama berlangsung di Perancis pada masa revolusinya, kemudian diikuti oleh berbagai revolusi di belahan negara Eropa Barat. Arus balik demokratisasi ini berlangsung menjelang Perang Dunia I, dimana negara-negara Eropa berbalik arah menjadi negara-negara yang fasis dan totaliter. Demokratisasi gelombang II berlangsung pasca-Perang Dunia II, dimana Indonesia juga sempat menjadi negara baru, dan ikut arus demokratisasi gelombang ini sampai sebelum tahun 1965, dimana Soekarno mengajak Indonesia ek arah negara yang tidak demokratis. Soekarno membawa negara iniu kearah “demokrasi terpimpin” yang menurut Huntington, tidak demokratis. Arus balik gelombang II ini juga berlangsung pada masa-masa itu.
Selanjutnya demokratisasi III berlangsung tahun 1970-an, dan mungkin hingga era 1990an, dimana negara-negara Blok Timur bertumbangan, bahkan Sovyet-pun ikut tumbang. Namun selesainya gelombang demokratisasi ini kurang jelas. Apakah memang gelombang III ini sudah selesai, atau terus berlanjut hingga sekarang, dimana negara-negara Timur Tengah sedang menuntut pemerintahannya untuk melakukan revolusi.
Saya sendiri, menganggap bahwa, gelombang demokratisasi negara-negara di Timur Tengah akan sulit sekali terjadi, kalaupun ada, pasti akan lamban. Sebab, semenjak negara-negara diwilayah ini ada, mereka telah memiliki sistem politik, sistem pemerintahan sendiri, yang khas, yang menjadi ciri dari maju-mundurnya negara-negara ini. Bisa saja wilayah ini masih banyak kerajaannya. Seperti kerajaan arab, emirat arab, republik Islam, dan lain-lain, yang didasarkan pada paham teokrasi. Ingat, sepeninggal Rasulullah SAW, negara-negara berpaham teokrasi (Islam sebagai basis kepercayaannya), tumbuh menjadi kekuatan dunia, menggantikan kekuatan Barat dan kekuatan lainnya sepeti peradaban Yunani, Romawi, Persia, dan peradaban maju lainnya. Kejayaan mereka bahkan berlangsung amat lama, belum ada peradaban lain yang mampu menandingi kemajuannya. Dan hanya perpecahan dari dalamlah yang meluluhlantakkan kejayaan negara-negara Islam di Timur Tengah. Mongolia menghancurkan Baghdad, dan menyisakan kekalahan sebuah peradaban yang pernah menjadi terbesar di dunia. Kekhalifahan Islam terakhir jatuh di Turki dan meninggalkan bekas luka yang mendalam antara Turki (Timur) dan Eropa (Barat).
Kalau saat ini Barat (termasuk Amerika) sedang bangkit menggantikan kemajuan dunia Islam, hal ini terjadi setelah mereka melakukan kolonialisasi, penjajahan di berbagai wilayah di muka bumi, selama ratusan tahun. Dan hanya perang antar sesama merekalah yang memundurkan kemajuannya. Perang Dunia II dan Perang Dingin adalah tanda-tanda bahwa negara-negara Barat yang bersandar pada paham demokrasi, akan segera “selesai”. Lihat saja, krisis ekonomi, runtuhnya dominasi pasar bebas, akan berlangsung cepat menggulung kekuatan demokrasi Barat. Jadi sulit kiranya, negara-negara lain, apalagi negara-negara Timur Tengah, akan mengikuti langkah mereka, yaitu melakukan demokratisasi khas Barat sebagaimana terjadi di negara-negara bekas Blok Timur. Justru negara-negara Timur Tengahlah yang akan memulai proses penguatan teokrasi sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Negara teokrasi memang khas di wilayah Timur Tengah. Jadi, jangan khawatir jika Mesir dan kawan-kawannya akan melakukan demoktratisasi, alih-alih meraka akan memperkuat sistem teokrasi yang telah berakar kuat.
Contoh lain misalnya China. Peradaban tua ini, saya yakin tidak akan pernah meniru sistem politik, kepercayaan, maupun ideologinya terhadap peradaban lainnya. China pernah runtuh dan hanya meninggalkan “istana terlarang” dan tembok China. Tetapi mereka tidak pernah berpaling dari sistem dan ideologinya ke ara demokrasi, sistem yang sedang berjaya saat ini. Mereka justru teguh mempertahankan paham komunisme, sistem politik tunggal, dan kepercayaan konfusianisme mereka. Dan terbukti, paham mereka ini kembali berjaya saat ini. Sebelum 2020, Barat (AS dan Eropa) akan segera tersalip oleh China, sebuah peradaban kokoh yang kembali bangkit tanpa harus berubah sistem.
Jadi, kesimpulannya adalah, bahwa kekhasan sistem dan kepercayaan Timur Tengah akan tetap dipertahankan. Perkara ada demonstrasi, ini hanya merupakan fenomena kecil yang pasti terjadi di belahan negara manapun di dunia.
Demikian pula Indonesia. Konon kabarnya, Indonesia, wilayah nusantara ini pernah dipersatukan oleh Sriwijaya yang Budha, dan Majapahit yang Hindu. Islam yang saat ini menjadi mayoritas di negeri ini tidak pernah bangkit menjadi sebuah kekuatan peradaban besar sebagaimana di Timur Tengah, tetapi “tergencet” oleh kolonialisme dan imperialisme Barat. Sehingga. Nampaknya, wilayah nusantara ini beklum meiliki sistem yang patut dicntoh buat masa depannya. Sebab, peradaban Buda dan Hindu di wilayah ini sudah tidak mayoritas lagi sebagaimana sebelum kedatangan Islam dan Kolonial.*
Blog EntriJan 30, '11 11:38 PM
untuk semuanya
Catatan Piala Asia 2011
Masad Masrur
 Sejak kekalahan Timnas kita di Piala AFF tahun 2010 lalu, hingar-bingar Piala Asia 2011 nampak tidak semeriah Piala AFF. Wajar, hal ini karena Indonesia, Timnas kita, tidak ikutserta di kejuaraan ini. Prestasi Timnas sudah "keok" duluan di babak kualifikasi, kalah bersaing dengan Australia, Kuwait, dan Oman. Di kualifikasi ini hanya Australia dan Kuawit saja yang lolos ke Qatar. Praktis Indonesia kembali absen di kejuaraan Piala Asia. Tercatat, Indonesia selalu lolos di putaran final sejak tahun 1996.
Di UEA tahun 1996, Indonesia sempat menahan Kuwait 2-2, sementara pertandingan lainnya kalah. Di Lebanon 2000, Indonesia juga sempat menahan seri  lawannya, dan di China 2004, Indonesia menang lawan Qatar. Sisanya kalah.
Di Piala Asia terakhir di Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand, kita sempat menang lawan Bahrain, tim yang mengalahkan kita empat tahun sebelumnya di China. Sementara lawan Arab dan Korsel, kita kalah 1-0.
Piala Asia (AFC) tahun ini, kita hanya jadi penonton. Seperti biasa, pertandingan Piala Asia ini, tentu saja, tidak semeriah Piala Eropa. Bahkan dengan Piala Afrika, apalagi Piala Conmebol, kita kalah ramai. Penonton terlihat sepi di arena pertandingan. Piala Asia memang belum menjadi kejuaraan ‘berbintang’ sebagaimana Piala Eropa, apalagi Piala Dunia.
Tapi, setidaknya, persaingan di kejuaraan ini menunjukkan bahwa, kelas sepakbola Asia selalu meningkat. Tim seperti Jepang, Korea, Australia, tahun 2010 lalu telah menunjukkan bahwa mereka adalah “penantang utama” sepakbola dunia ke depan. Tim-tim dunia, seperti Brasil, italia, Spanyol , dll, tidak bisa menganggap remeh tim sepakbola Asia. Ingat Piala Dunia 2002, tim Asia melaju pesat.
Ramalan Pele, bahwa sebelum abad 20 selesai, akan ada juara dari benua lain selain Eropa dan Amerika latin, memang telah terbukti di ajang Olympiade. Nigeria adalah Juara Sepakbola olympiade 1996 di Atlanta. Disusul Kamerun di Sidney 2000. Artinya, Asia dan Afrika akan muncul sebagai Juara Dunia pula, hanya menunggu giliran saja.
Ingat, bahwa tuan rumah Piala Dunia akan terus dipergilirkan. Demikian juga, juara dunianya, saya yakin juga akan mampu bergilir. Esok, Piala Dunia akan lahir dari juara-juara Piala Asia.
Piala Asia tahun ini tidak memberi kejutan baru, kecuali tersingkirnya Arab Saudi di babak awal. Jepang dan Australia memang terus mendominasi. Sejak Australia bergabung ke AFC tahun 2007, tim ini terus akan diperhitungkan di Asia.
Catatan saya adalah lolosnya Indonesia di Piala Asia kelak tahun 2015 di Australia, dan mudah-mudahan benar-benar lolos, akan bisa mengantarkannya ke jenjang lebih tinggi lagi. Sebab menjadi langganan di putaran final kejuaraan Asia, yang sempat putus di Piala Asia 2011 ini, akan tersambung kembali, dan Indonesia layak mendapat mendali. Syaratnya hanyalah: Nurdin Turun.**
 Jakarta, 28 Januari 2011
Blog EntriDec 28, '10 1:33 AM
untuk semuanya
CATATAN PIALA AFF 2010 [2]
Masad Masrur

Dua catatan saya mengenai Piala AFF tahun 2008 ada di blog ini pula. Pertama saya mengomentari kaos timnas, yang warnanya hijau, dan lambang garuda di dada, yang kebetulan saat ni, pas piala AFF tahun 2010 ini digugat.
Sedihnya nonton di Stadion Senayan, menggambarkan bahwa stadion rapuh ini sebenarnya sudah tidak layak pakai lagi. Sudah kuno dan tidak terawatt. Indonesia tidak memiliki stadion hebat, kecuali mungkin bekas stadion PON di Palaran dan Stadion bekas PON di Jatim dan bekas PON di Sumatera Selatan. Tetapi itu di luar Jakarta. Kapasitasnya tidak sebesar senayan dan belum bersejarah. Tapi menurut saya, sebaiknya stadion-stadion itulah yang dipakai untuk pertandingan Timnas. Sebab stadion ini adalah baru, dan masih bagus untuk tempat pertunjukan bola. Biarpun saya belum pernah ke stadion-stadion itu, tetapi saya optimis, stadion ini lebih baik dari senayan.

Masalah kaos timnas yang warna hijau. Konon dulu ada kompetisi sepakbola yang diikuti oleh dua timnas PSSI. Dari dua timnas tersebut, harus berbeda warna kaosnya. Jadilah ada warna merah, sesuai yang biasa dipakai timnas, dan warna hijau, agar berbeda dengan kaos timnas yang sama sama bertanding di satu turnamen. Jadilah sampai sekarang kita memiliki warna kaos timnas, hijau dan merah, sekaligus putih sebagai kaos tandang.
Dan lambang garuda di dada. Dalam catatan saya di blog ini pernah saya usulkan memakai lambang PSSI saja. Bukan karena tidak nasionalis, Cuma saat itu saya berfikir, apa tidak sebaiknya memakai lambang yang sama dengan lambang yang dipakai oleh timnas negara lain. Yakni menggunakan lambang PSSI-nya negara mereka. Buka lambang negara. Seperti brasil, jepang, korea dan lain-lainnya. meskipun ada juga yang menggunakan lambang negara seperti spanyol, jerman, inggris dan lainnya. gugatan terhadap garuda di dadaku, pada piala AFF ini mungkin benar, sesuai dengan UU pemakaian lambang, atribut negara harus sesuai, tapi tidak ada salahnya juga menggunakan lambang garuda di dada timnas. Sebab lambang ini sudah sangat bersejarah. Sejak olympiade Helsinki, yaitu even olahraga yang pernah diikuti Indonesia sejak pertama kali merdeka, selalu menggunakan lambang garuda di dada. Waktu olympiade Melbourne, timas kita juga menggunakan lambang garuda di dada, benar, saya pernah melihatnya di foto di Koran. Waktu itu lambang garuda di dada kiri, sebagai symbol timnas kita, digunakan oleh pemain pemain berdarah china yang memperkuat timnas. Saat itu kita berhasil emnahan soviet 0-0, dan banyak pemain tergeletak karena berpura-pura sakit agar pertandingan molor, dan kita bisa bertahan nafas di pertandingan itu.
Kembali ke catatan piala AFF. Besok sore adalah final piala AFF leg pertama di Malaysia. Stadion Bukit Jalil adalah stadion megah yang modern. Jauh menyaingi senayan dalam kapasitas jumlahnya. Stadion ini dibangun tahun 1998. Termasuk 10 stadion terbesar di dunia, disamping beberapa stadion di Amerika. Malaysia memang tangguh sekarang, baik ekonomi maupun politiknya. Beberapa kali kita harus berurusan secara politik dengan Malaysia, baik soal TKI maupun perbatasan. Ini pula yang menyulut atmosfer di setiap pertemuan timnas kita dengan Malaysia. Seperti pertandingan inggris lawan argentina yang selalu diingatkan dengan perang Malvinas.
Secara ekonomi, Malaysia memang juga sedang tumbuh. Indonesia ketinggalan 20 tahun. Mungkin lebih. Makanya, saya bermimpi, bagaimana kita bisa menjadi lebih modern disbanding Malaysia, biarpun tidak harus selalu menang lawan tim sepakbolanya. Selamat menyaksikan final besok.
Jakarta, 24 Desember 2010
Blog EntriDec 18, '10 2:46 AM
untuk semuanya
CATATAN PIALA AFF 2010
Oleh Masad Masrur

Pada saat piala tiger 1996 pertama kali digulirkan, dan kemudian piala ini dirubah nama menjadi piala aff Suzuki cup, tercatat di benak saya adalah: mestinya kejuaraan ini ada sejak lama. Mungkin selama ASEAN terbentuk tahun 1968. Atau juga mungkin se-tua sea-games. Sehingga paling tidak, keikutsertaan Indonesia di kejuaraan ini juga sudah sejak lama.

Indonesia ikut sea games pertama kali tahun 1979, dan langsung menyabet juara umum, sekaligus medali perak sepakbola sea-games. Waktu itu namanya seap-games. Dan di asia tenggara ini, Indonesia memang baru dua kali mendapat emas sepak bola, yaitu tahun 1987 dan 1991. Dia Asia tenggara, Thailand memang penguasanya. Mungkin Indonesia di lapis keduanya saja.

Lapis kedua? Ternyata tidak. Saat kita gagal di semifinal piala tiger partama kali itu, saya baca di Koran, timnas dicaci maki banyak Koran. Apalagi waktu perebutan tempat ketiga, kita kalah dengan Vietnam, makin dicacimakilah tim kita. Hamper semua pengamat menuliskan; di lapis keduapun kita mungkin hanya distrata terakhir, karena Vietnam yang sepanjang sejarah tak pernah mampu mengalahkan kita, kini bahkan merebut medali perunggu kita di tiger cup pertama kali itu. Apa daya. Sejak itulah prestasi Vietnam terus disebut-sebut dan langsung menjadi musuh bebuyutan kita di asia tenggara. Tercatat, dua tahun kemudian. Ketika piala tiger kedua diselenggarakan di Vietnam, timnas kita sangat ketakutan dan menghindari Vietnam di ajang ini. Maklum, Vietnam yang tidak bisa diremehkan lagi, akan mengambil untung sebagai tuan rumah. Timnas mengalah saat pertandingan akhir grup. Dan inilah catatan terburuk sepanjang sejarah, ya sepanjang sejarah sepakbola Indonesia, Mursyid effendi mencetak gol ke gawang sendiri biar kalah dengan Thailand. Sebab jika kalah kita terhindar dari Vietnam di semifinal.

Ternyata pula, biarpun strategi mecetak gol ke gawang sendiri agar tidak bertemu Vietnam, timnas bertemu di singapura, yang menurut hitung-hitungan bisa dikalahkan. Tenyata timnas kita saat itu benar-benar ‘ora sembodo’. Ssesudah mencetak gol di gawang sendiri, lawan singapura-pun kita kalah di semifinal. Apa nggak malu??

Itulah babak-babak awal tim kita di awal penyelenggaraan piala aff. Dan sejak itulah piala aff seperti menjadi kutukan. Meskipun menanjak prestasi kita di kejuaraan ini, tiga penyelennggaraan berikutnya, kita gagaldi final, dua kali kalah malah finalnya di Jakarta. Tercatat kita hanya mencetak hatrick finalis, bukan hatrick juara.

Lebih buruk lagi, setelah hatrick finalis itu, kita malah tidak lolos ke semifinal, yaitu di piala aff tahun 2007, lagi-lagi kalah bersaing dengan Vietnam. Terakhir, dua tahun lalu, kita kembali kalah melawan Thailand di semifinal. Nah. Untuk piala aff tahun ini banyak kejutan muncul. Singapura, tim yang sudah melakukan naturalisasi dan memenangi kejuaraan ini tiga kali, yaitu tahun 1998, 2004 dan 2007, gagal lolos ke babak kedua, kalah dengan Filipina yang biasanya menjadi lumbung gol. Dan Thailand, yang juga juara tiga kali, 1996, 2000, 2002, juga gagal di grup.

Sementara Indonesia, kembali ada nafas. Saat tulisan ini ditulis, philipina sudah kalah di leg pertama semifinal. Untung Filipina tidak punya stadion representative, jadi dua kali semifinal ini digelar di Jakarta.  Gak masalah, kita lihat finalnya besok. Apa Indonesia da disitu?

18 Des 2010
Oleh Arif Raham Hakim
Adaptasi novel ke dalam film selalu menimbulkan perubahan, sebagai akibat dari perbedaan wahana dan interpretasi sutradara atas karya seorang penulis. Perubahan yang lahir akibat perbedaan tersebut berupa struktur naratif, tema cerita maupun wacana yang diusung.
Dengan menggunakan analisis wacana, tulisan ini akan membandingkan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el-Shirazy dengan adaptasi film karya sutradara Hanung Bramantyo dengan judul yang sama. Perbandingan akan difokuskan pada wacana poligami yang terdapat dalam novel maupun film adaptasinya.
Kajian ini memperlihatkan bahwa pertama, struktur naratif terkait dengan wacana sosial, politik, dan budaya yang melingkunginya. Kedua, pada novel Ayat-Ayat Cinta, wacana poligami disajikan dalam kerangka dilema manusia yang terjepit dalam suatu pilihan. Ketiga, pada film Ayat-Ayat Cinta, wacana poligami disajikan dengan menciptakan ruang untuk menjadi praktik diskursif.
Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el-Shirazy adalah fenomena dalam perkembangan sastra Indonesia. Berhasil mengukir prestasi sebagai novel best-seller dalam waktu yang cukup singkat. Pada awal tahun 2008, dirilis film adaptasi dari novel Ayat-Ayat Cinta dengan judul yang sama, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Tempo Interaktif men-catat film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi sebagai film yang paling banyak ditonton di Indonesia tahun 2008 dengan jumlah penonton di atas 3 juta orang. Bahkan film Ayat-Ayat Cinta ini diganjar penghar-gaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena jumlah penontonnya terbanyak yakni 3,8 juta orang lebih. Pujian datang dari Jaya Suprana (seperti diberitakan Kantor Berita Antara, www.tempointeraktif.com) yang mengatakan bahwa meski secara nominal jumlah penonton tidak terlalu besar, namun film yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy ini mencatat sejarah baru di perfilman nasional mengingat VCD atau DVD bajakan yang beredar diperkirakan berkisar antara 4-5 juta keping.
Pada dasarnya karya seni, termasuk novel dan film di dalamnya, dibuat sebagai sarana hiburan akan tetapi novel dan film juga bisa sangat efektif merangsang perenungan manusia untuk berpikir dan bertindak. Meminjam bahasa John Storey (1993: 15), karya seni merupakan tempat dimana konstruksi kehidupan sehari-hari ditampilkan.
Novel dan film Ayat-ayat Cinta menghadirkan wacana poligami dalam alur peristiwa. Wacana tersebut muncul karena karya seni tidak bisa lepas dari perspektif pembuatnya dalam hal ini penulis dalam novel dan sutradara dalam film. Dengan itu, dalam novel dan film ini beroperasi apa yang diistilahkan Bourdieu sebagai ideology of art (ideologi seni) pembuatnya (Storey, 1993: 189).
Wacana poligami dalam novel dan film Ayat-Ayat Cinta menjadi menarik dalam konteks Indonesia dikarenakan wacana ini merujuk pada praktik yang dilegalkan oleh agama Islam, agama mayoritas di Indonesia. Perdebatan wacana poligami tidak pernah selesai ketika wacana tersebut ditampilkan ke arena publik. Dengan varian pemikiran yang berbeda-beda, perdebatan tersebut mengarah pada titik apakah menyetujui atau menolak.  
Dengan alasan di atas, penulis tertarik membandingkan wacana poligami dalam novel dan film Ayat-Ayat Cinta serta ideologi yang melatarbelakangi wacana tersebut. Asumsi awal yang diperkuat dengan simpulan sementara penulis adalah (1) dalam novel Ayat-Ayat Cinta, keputusan tokoh Fahri (diperankan oleh Fedi Nuril) untuk menikahi Maria (diperankan oleh Carissa Puteri) atas saran dan persetujuan istrinya Aisha (diperankan oleh Riyanti Cartwright) dengan alasan yang sangat mendesak serta berdiri dalam posisi di-lematis; (2) dalam film Ayat-Ayat Cinta, adegan ketika Maria dihidupkan untuk wak-tu yang cukup lama sebelum mati telah membuka ruang untuk mengkampanyekan poligami.

Poligami dalam Kontroversi
Poligami adalah istilah dalam disiplin ilmu antropologi untuk merujuk pada sistem perkawinan manusia. Poligami adalah sistem perkawinan di mana laki-laki meni-kah dengan lebih dari satu perempuan (Lihat, Crapo, 2002: 30). Lawan dari sistem perkawinan ini adalah poliandri atau sistem perkawinan satu orang perempuan dengan dua atau lebih laki-laki.
Dalam konteks Indonesia, poligami menjadi perdebatan panjang dan hebat. Perdebatan ini memancing pendapat me-nyetujui atau menolak. Kontroversi poli-gami yang tidak berkesudahan tersebut menurut hemat saya lebih dikarenakan pada faktor agama Islam, yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, di mana praktik poligami dilegalkan.
Sebelum membahas perdebatan legal-formal saya akan membahas secara kesejarahan turunnya Islam terutama terkait dengan kebudayaan Arab di mana Islam lahir. Secara historis, kebudayaan Arab sangat kental dalam praktik ajaran Islam hal ini dapat dilihat dari akomodasi kebudayaan Arab yang sangat besar dalam Islam terutama, dalam konteks tulisan ini, yang berhubungan dengan sistem keke-rabatan dan keluarga. Dalam masyarakat Arab, perempuan adalah ’properti’ yang sangat berharga dan prestisius semacam mata air, emas, senjata dan hewan ternak. Seorang laki-laki akan dielu-elukan dan dibangga-banggakan jika mempunyai properti di atas—termasuk perempuan di dalamnya—dengan jumlah banyak (Hitti, 1996), sehingga praktik poligami menjadi suatu keharusan bagi laki-laki Arab untuk mempertahankan gengsi. Ketika Islam datang, praktik fornikasi yang dilarang akan tetapi praktik poligami tidak dilarang meskipun bukan merupakan prinsip utama dalam perkawinan Islam.     
Praktik legal poligami dalam Islam ber-sumber dari QS al-Nisa: 3 yang mem-bolehkan laki-laki untuk menikahi dua, tiga atau empat perempuan. Secara eksplisit teks al-Quran membatasi laki-laki mengawini hingga empat orang perempuan. Akan tetapi, di lain ayat, al-Quran secara eksplisit pula memberikan rambu-rambu untuk diperhatikan. Dalam QS al-Nisa: 129 secara tegas disyaratkan bagi laki-laki yang ingin menikahi perempuan lebih dari satu haruslah mempunyai sifat adil. Di sini masalah penafsiran mulai muncul menjadi perdebatan. Bagi yang mengaplikasikan praktik poligami berpendapat, ayat al-Quran dengan tegas membolehkan praktik poligami, mengingat al-Quran merupakan sumber hukum tertinggi dalam ajaran Islam sehingga tidak bisa dibantah. Bagi yang menghindari praktik poligami bersandar pada penafsiran semantik atas QS al-Nisa: 129 bahwa syarat adil terhadap semua istri adalah elemen penting dalam poligami tidak akan sanggup dilakukan manusia mengingat kata larangan berbunyi lan. Dalam bahasa Arab, kata lan merupakan larangan yang bersifat mutlak yang tidak akan pernah bisa terjadi pada diri manusia. Jadi adil tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh manusia. Dalam pandangan kelompok ini ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi misalnya sanggup berlaku adil, mendapat izin dari istri pertama, jumlah istri tidak lebih dari empat orang dan niat poligami bukan untuk menyakiti (Saleh, 2009: 332).
Dalam masyarakat Indonesia, praktik poligami merupakan praktik yang dicibir oleh masyarakat Indonesia, apalagi jika pelakunya adalah figur publik seperti pejabat, dai kondang, artis dan politisi. Kasus terakhir yang menimpa dai muda asal kota Bandung Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa dengan AA Gym bertalian antara poligami dan sosoknya yang merupakan publik figur. Sebelum melakukan poligami, sosok AA Gym sering muncul dalam acara ceramah di televisi dan digandrungi semua lapisan masyarakat sebagai sosok yang menawarkan dakwah alternatif. Namun, setelah melakukan poligami ia tidak pernah tampil di televisi seperti sebelumnya. Pemberitaan baik itu di media hiburan, surat kabar, majalah, radio, maupun televisi banyak berisi cibiran dan cercaan terhadap dirinya dan praktik poligami. Dari kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan masyarakat Indonesia masih melihat bangunan keluarga terdiri dari satu orang suami dan satu orang istri, jika ada lebih dari satu istri maka keluarga tersebut dipandang dengan cibiran.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang demikian, wacana poligami yang merasuk dalam karya seni—apakah itu bentuk film, novel—tentu tidak luput dari perhatian masyarakat. Begitu pun novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman ini. Meskipun wacana poligami dalam novel ini tidak memakan porsi terbesar cerita tapi amat menentukan akhir dari cerita. Bahkan antara novel dan film mendapat perhatian masyarakat luas terutama mengenai wacana poligami.
Dalam novel dan film adaptasinya, wacana poligami berjalin kelindan dalam tiga struktur sosial budaya yang berbeda: Islam, Arab dan Indonesia. Novel dan film menunjukkan tiga struktur yang berbeda tersebut merespons poligami dengan cara masing-masing. Dengan kata lain, dalam novel dan film terlihat jelas struktur naratif terkait dengan struktur sosial-budaya yang melingkupinya.

Dilema Manusia dalam Novel
Kisah cinta sebenarnya memakan porsi terbesar dalam novel: empat perempuan yang mencintai satu laki-laki: Fahri. Dalam novel, Habiburrahman menghadirkan wacana poligami di akhir cerita terkait dengan keadaan tokoh Fahri yang terjepit menghadapi tuduhan Noura (diperankan Zaskia Adya Mekka), salah satu perempuan yang mencintainya.
Sebelum itu, wacana poligami dibuka oleh Nurul Azkia (diperankan Melani Putri) yang meminta Fahri, melalui surat, untuk menikahinya sebagai istri kedua. Ia beralasan sangat mencintai Fahri dan sulit melupakan Fahri karena cintanya telah mendarah-daging. Alasan darurat dijadikan alasan oleh Nurul untuk poligami (hal. 288). Jawaban Fahri pun dilayangkan melalui surat. Dalam surat balasan, Fahri mengakui bahwa syariat Islam memperbolehkan poligami akan tetapi dengan alasan telah berjanji dengan istrinya Aisha untuk tidak memadunya dan berjanji adalah dengan menepatinya (hal. 291). Menarik dikemukakan di sini adalah jawaban Fahri tentang poligami yang tidak mempergunakan alasan syariat seperti yang dikemukakan Nurul. Ada kesan pada sosok Fahri menghindar un-tuk membuka perdebatan wacana poligami.
Orang tua Maria, Madame Nahed dan Tuan Boutros, demi kesembuhan anaknya meminta Fahri untuk menikahi Maria sehingga Fahri bisa menyentuh Maria yang menurut dokter bisa merangsang syaraf Maria sehingga ia bisa bangun dan sembuh (hal. 376). Fahri berkeras menolak mes-kipun ia telah membaca buku harian milik Maria yang berisi curahan hati Maria yang sangat mencintai Fahri. Ia beralasan tidak bisa poligami karena ia terlanjur berjanji dengan istrinya agar tidak memadunya. Alasan yang dikemukakan dua kali oleh fahri, sama seperti ketika ia menolak Nurul.
Akhirnya Madame Nahed memohon belas kasihan Aisha demi kesembuhan Maria. Aisha lah yang akhirnya terus mendesak Fahri agar menikahi Maria. Aisha memutuskan dalam kondisi dilematis bak menelan buah simalakama pasalnya Maria adalah saksi kunci penting yang akan membebaskan Fahri dari dakwaan memperkosa Noura. Sebagai seorang istri ia berketetapan mengorbankan hatinya demi keselamatan Fahri. Dengan perkawinan Fahri dan Maria maka akan menyelamatkan hidup Maria, sebagaimana nasihat dokter, menyelamatkan dirinya dari status janda yang terus membayang, menyelamatkan janin yang dikandungnya dari keyatiman dan nama baik Fahri sendiri. Setelah Aisha meyakinkan Fahri bahwa pilihan itu adalah sebuah ijtihad (pengambilan keputusan) yang harus ditempuh dalam kondisi darurat (hal. 376-378).
Dinarasikan dalam teks, Fahri dengan berbagai argumen terus membantah argumen istrinya. Keduanya sama-sama menyadari semua pilihan sungguh sulit ditempuh dan semua mengandung resiko yang tidak kecil dampaknya bagi mereka berdua. Dengan bertangisan akhirnya Fahri menikahi Maria dengan maskawin cincin pemberian Aisha.
Akhir cerita di mana Maria akhirnya mati karena sakitnya tersebut, pada hemat saya menutup poligami menjadi sebuah praktik. Novel ini menutup rapat pintu poligami dengan menggarisbawahi bahwa poligami dilakukan dengan syarat keterpaksaan.
Dari narasi ini terlihat jelas Fahri berdiri dalam posisi dilematis untuk berpoligami. Setelah didesak terus-menerus oleh istrinya barulah ia menyerah demi istri dan anak-anaknya. Wacana Poligami dinarasikan da-lam kondisi benar-benar terjepit seorang anak manusia di mana tidak bisa tidak harus memilih poligami. Uniknya, dalam cerita ini justru sosok istri lah yang menganjurkan poligami sementara sosok suami terus-menerus menolak mengambil keputusan itu.

Pembuka Ruang Poligami
Dibanding dengan novel, film Ayat-Ayat Cinta lebih banyak menimbulkan kontro-versi di masyarakat terkait akhir cerita film yang berbeda dengan novel menyangkut hubungan cinta segitiga Fahri-Aisha-Maria. Terkait masalah ini menarik menyimak penuturan penulis novel Habiburrahman el-Shirazy ketika ditanya tentang wacana poligami yang dipaparkan secara gamblang dalam film Ayat-Ayat Cinta, katanya “Poligami di Ayat-ayat Cinta itu versi sang sutradara, bukan versi saya,” (www.tempointeraktif.com).
Seperti telah dibahas di atas, dalam versi novel, poligami yang dilakukan Fahri ditampilkan karena terdesak dan atas permintan istrinya, yaitu karena Fahri dibutuhkan oleh anak yang dikandung Aisha dan juga Maria yang sakit hampir meninggal karena memendam cinta yang terlalu dalam. Akan tetapi dalam novel tidak dinarasikan Aisha-Fahri-Maria hidup bersama dalam satu rumah karena Maria keburu meninggal di rumah sakit sesaat setelah Fahri dibebaskan.
Letak permasalahan dalam film ada pada poligami yang ditampilkan dalam layar. Tidak seperti dunia nyata yang sarat konflik, proses untuk poligami yang disisipkan Hanung Bramantyo begitu sederhana, nyaris tanpa konflik. Tidak ada perdebatan yang bernas dan panjang mengenai dasar hukum poligami dalam agama. Aisha rela “dimadu” lantaran ingin menolong sua-minya Fahri yang dituduh memperkosa Noura. Maria lah saksi kunci yang bisa melepaskan Fahri dari tuduhan tersebut. Runyamnya, Maria koma setelah ditabrak dengan sengaja komplotan jahat yang menghendaki Fahri mendekam di hotel prodeo. Hanya dengan menikahi Maria, si saksi kunci bisa siuman dan bersaksi di depan hakim agar Fahri dibebaskan dari segala dakwaan. Dalam pandangan saya, film ini tidak menampilkan keterdesakan manusia dalam membuat keputusan yang sangat sulit.
Digambarkan dalam film, Saat Fahri menyatakan cintanya pada Maria, Aisha menangis kuat dan belakangan poligami tersebut membuat keluarganya tidak har-monis. Hal ini karena Fahri kesulitan membagi cinta, sementara Aisha sebagai istri tidak rela cintanya dibagi, meski dalam versi novel, ia menganggap Maria sebagai adik-nya sendiri yang penuh kasih sayang. Aisha sempat kembali ke rumah pamannya dan hendak pulang ke Turki untuk berziarah ke makam ibunya, guna menenangkan diri. Namun, setelah Fahri datang dan memintanya untuk membantu melewati semua proses dengan penuh ikhlas, Aisha mau kembali ke rumah. Mereka lalu menjalani hidup dengan penuh ikhlas, hingga wafatnya Maria saat salat Jama’ah bersama Fahri dan Aisha. Gambaran mimik tokoh Fahri terlihat bahagia bersama Maria meskipun ia dalam posisi merawat Maria yang sakit, sementara Aisha terlihat begitu menanggung beban. Meskipun akhirnya tokoh Maria pun “dipaksa” oleh sutradara meninggal, sesuai dengan tuntutan plot novel.
Pada hemat saya, akhir cerita yang membiarkan Maria hidup untuk sementara waktu justru membuka ruang poligami men-jadi praktik apalagi alasan untuk ber-poligami tidak ditampilkan secara meyakinkan melalui perdebatan Fahri dan Aisha. Yang ada justru wacana keluarga bahagia yang menganut poligami yang tidak menimbulkan masalah berarti. Dengan kata lain, wacana poligami digambarkan secara harmoni jika pun ada masalah tidak bertahan lama semuanya bisa didamaikan secara selaras dan serasi.
Di samping itu, wacana poligami sebagai persoalan kontroversi untuk dibuka sebagai praktik diskursif dapat dilihat dari jalan keluar yang ditawarkan untuk keluar dari kemelut poligami. Menurut versi film ini, hanyalah keikhlasan menjalaninya saja, karena cinta dan rasa ingin memiliki, seperti diungkap Maria, adalah dua hal yang berbeda. Fahri selalu meyakinkan Aisha untuk menjalani pernikahan poligami dengan ikhlas.

Penutup
Kita telah melihat bagaimana kedua kar-ya ini sama-sama menghadirkan wacana po-ligami. Struktur naratif keduanya sama-sama menempatkan akhir naratif sebagai penentu.
Namun, novel dan film memaknai waca-na poligami dengan cara yang berbeda. Jika dalam novel dinarasikan proses menuju poligami adalah jalan terjal yang tidak mudah dilalui oleh karakter Fahri. Pada akhirnya ia mengambil jalan poligami karena keterdesakan diri dan keluarganya dan itu pun belum cukup menjadi dasar bagi Fahri mengambil jalan poligami. Karena atas desakan istrinya lah Fahri mengambil keputusan menikahi Maria, dan bisa kita baca narasi novel melalui perdebatan yang panjang dengan alasan yang sama kuat.
Sementara itu, film dengan jelas melalui gambaran yang dihadirkan menawarkan jalan keluar permasalahan poligami dengan berlaku ikhlas. Dengan kata lain, jika dalam kenyataan masalah poligami selalu dipermasalahkan sebagai rusaknya harmoni keluarga dalam film ini justru praktik poligami digambarkan bisa dilakukan dengan harmoni tanpa konflik berarti antar-karakter.
Meminjam analisis Foucault, wacana poligami pada kedua karya ini memiliki proses pembentukan makna yang berbeda sehingga makna yang dihasilkan berbeda (Brooker, 1999: 67). Dari analisis dapat pula disimpulkan bahwa proses pembentukan makna pada kedua karya ini tergantung pada siapa yang menciptakan wacana tersebut dalam hal ini Habiburrahman el-Shirazy sebagai penulis novel dan Hanung Bramantyo sebagai sutradara film.
Wacana poligami yang diangkat dalam novel dan film membuka pencarian tentang bagaimana struktur sosial-budaya sudah merembes secara sadar dan tidak sadar jauh ke dalam medan seni dalam menentukan bagaimana wacana ditampilkan dalam karya seni.**

Blog EntriJul 20, '10 4:28 AM
untuk semuanya
Catatan Piala Dunia 2010 (3)
Masad Masrur

Lampu Stadion Soccer City Sudah Padam. Demikian judul berita yang pernah dimuat di majalah Tempo tahun 1990, saat Piala Dunia 1990 berlangsung di Italia. Saat itu judul beritanya, Lampu Stadion Roma Telah Padam.

Isi berita itu, “kecut” sekali. Bagaimana tidak? Liputan berita ini sangat tidak sedap. Bukan hanya akrena final antara Jerman vs Argentina yang hanya menghasilkan satu gol (pinalti hadiah), tetapi secara umum, kualitas pertandingan di Piala Dunia ini, sangat buruk.

Sepanjang sejarah, baru kali ini final Piala Dunia terjadi tanpa gol. Dan hanya sebiji gol yang muncul di Piala Dunia ini. Namun, kita juga perlu berkaca pada Piala Dunia sesudah itu, tahun 1994, dimana, finalnya tidak memunculkan satu golpun. Skornya hanya kacamata. Dan pertama kali Final Piala Dunia, dilangsungkan dengan adu pinalti. Namun, keseluruhan Piala Dunia 1994, masih lebih baik daripada di Italia 1990. Final piala Dunia 1994, tetap spektakuler.

Piala Dunia 1990 diawali dan diakhiri oleh kekalahan Argentina, 1-0. pertama, kekalahan maradona cs versus Kamerun, dan akhir turnamen kalah versus Jerman. Tidak ada yang membayangkan bahwa maradona yang terseok-seok di awal turnamen, tampil di Final waktu itu. Jeleknya permainan Argentina 1990, mengundang kecaman dari FIFA, sampai-sampai terucap dari Joao Havelange, “jangan sampai argentina menang”. Dan inilah yang terjadi. Kemenangan jerman di final, “diatur mafia”, demikian kata Maradona. Maradona hampir tidak mau menerima medali, dan tidak mau bersalaman dengan Joao Havelange. Sekian.

Kerasnya pertandingan final Afrika Selatan 2010 ini, banyak dikecam oleh berbagai komentator, bahkan presiden Fifa Sepp Blater. Belanda memang hanya tim kelas dua, mereka hanya main sampai final, setelah itu kalah. Tahun 1974, 1978 dan 2010 ini. Tapi, apa yang mau dicatat dari final kali ini hanyalah, kemenangan Spanyol yang mestinya terjadi lebih awal, dibanding dengan di perpanjangan waktu. Sebab, kalau tidak gol di perpanjangan waktu, Spanyol bisa kalah di adu pinalti. Dan makin buruklah kualitas final Piala Dunia jika Belanda yang main “kasar’, memenangkan turnamen ini.

Tetapi, tak apalah. Kita akan segera beringsut dari Afrika selatan, untuk menuju Piala Dunia 2014, di Brasil. Kalau saat ini usia anda 30 tahun,a tau20 tahun, tentu saja, empat tahun lagi usia anda akan makin tua untuk sekedar menyaksikan Paial Dunia yang lebih baik dibandingdi Afrika. Memang, konon orang sering menyebut-nyebut bahwa, dari keseluruhan Piala Dunia dari tahun 1030 hingga 2010, Piala dunia 1986 dan 2002 lah yang terbaik. Anda bisa mengecek sendiri. Cuma, kalau kita tidak begitu detail melihat Piala Dunia 1986. mungkin Piala Dunia 2002 adalah yang terbaik. Dan belum tentu, Piala Dunia 2014 nanti, akan mampu terulang lagi.

Brasil memiliki “agama bola”. Artinya, sepakbola, bagi mereka adalah selalu menang. Kalah adalah bencana. Dan bencana itu pernah terjadi di tahun 1950, disaat brasil, sebagai tuan rumah, kalah di final versus uruguay. Pertandingan itu riuh rendah, dan sangat sepi begitu peluit dibunyikan panjang. Kata penonton saat itu, suara lalatpun bisa terdengar saat pertandingan usai. Karena begitu sepinya sambutan penonton dengan kekalahan Brasil itu.

Brasil akan mengulang sejarah tahun 2014 ini. Tetapi apa yang akan terjadi. Saya berharap Brasil menang. Tapi, kalau tidak, setidaknya tim dari mareika Latin lah yang memenangkannya. Sebab saya “tidak rela” kalau tim Eropa memenangkannya di benua Amerika Latin. Ibukota sepakbola dunia lagi.
Jadi, ramalan saya untik 4 tahun mendatang. Brasil atau argentina yang menang. Mudah-mudahan ramalan ini tepat, dan kita tidak lupa.

16 Juli 2010
Blog EntriJul 13, '10 3:46 AM
untuk semuanya
Catatan Piala Dunia 2010 (2)
Masad Masrur

Menyaksikan Final Piala Dunia 2010, antara Spanyol melawan Belanda, tentu saja teringat dengan ramalan-ramalan tentang turnamen ini sebelumnya. Banyak jadwal panduan Piala Dunia yang dijual di toko-toko buku dan di jalanan. Dari jadwal itulah, kita bisa meramal nasib kesebelasan yang kita jagokan. Kalau menengok susunan grup di Piala Dunia ini, nampaknya sudah “ideal”, grup “neraka” yang konom ditakuti, hanya grupnya Brasil, yaitu dengan Pantai Gading dan Portugal menyisakan Korea Utara. Tapi kenyataan membuktikan, Pantai Gading, salah satu tim Afrika gagal lolos di fase ini, menyusul dan disusul tim-tim Afrika lainnya yang juga gagal lolos ke babk ke-2, kecuali Ghana.

Yang mengejutkan, atau malah tidak mengagetkan sama sekali adalah, tidak lolosnya Prancis, dan menangnya Uruguay. Sepanjang Piala Dunia yang saya tahu, Prancis yang menjuarai Piala Dunia 1998, tidak lolos babak ke-2 di Piala Dunia berikutnya 2002, di Jepang dan Korea. Uruguay juga begitu. Satu grup dengan Prancis di 2002, juga tidak lolos babak ke-2. Praktis saya tidak melirik Prancis dan Uruguay di Piala Dunia ini.

Yang “membanggakan” mungkin lolosnya tim Conmebol, kelimanya lolos ke babak kedua, yaitu Argentina, Brasil, Uruguay, Paraguay, dan Chili. Dari Asia ada Jepang dan Korea Selatan. Keduanya lols membanggakan Asia. Kekalahan Korea Selatan dari Uruguay adalah kekalahan “yang indah” karena dibarengi dengan sepakbola indah dan perlawanan hebat. Demikian pula jepang, ia hanya tidak beruntung melawan Paraguay, mestinya di pertandingan ini, Jepang bisa menang. Mereka gagal di adu pinalti.

Tim Eropa, yang selalu tidak saya jagokan, lolos melawan tim-tim Amerika Latin. Argentina dibantai Jerman, Brasil dikalahkan Belanda, hanya Uruguay yang hebat, tampil di semi final. Belanda dan Juara Eropa tahun 2008, Spanyol berebut juara pertama. Pertandingan final sangat ketat. Saat aku mengetik ini, RCTI menyiarkan siaran ulangnya.

Setiap pertandingan yang berlangung di Piala Dunia, orang selalu menganalisis pertemuan kedua tim di Piala Dunia sebelum-sebelumnya. Ketika Argentina versus Jerman akan berlangsung, orang selalu akan mengingat Final 1990 dan 1986, dimana Maradona masih bermain. Maradona kalah di 1990 setelah empat tahun sebelumnya berjaya. Atmosfernya tentu saja panas. Maradona berkesempatan lagi untuk mengalahkan Jerman, namun apa daya, maradona yang waktu 1990 sudah “diprediksi kalah” di final, gagal juga di Piala Dunia 2010 ini. Lebih tragis lagi, mereka kalah 4-0. Messi tidak mencetak gol.
Ini adalah kelalahan yang “pahit” buat penggemar Argentina dan penggemar Maradona seperti saya. Aku harap Messi bisa mencetak kemenangan, tapi di Piala Dunia ini, ia tidak mencetak satu gol-pun. Pers bilang Messi kelelahan.

Brasil versus Belanda. Kemenangan Belanda tahun 1974 seolah akan terulang lagi di Piala Dunia ini. Waktu itu, Belanda terakhir kali mengalahkan Brasil di Piala Dunia. Johan Cruyff pencetak gol kemenangan ke gawang Brasil. Sementara, pertemuan mereka di Piala Dunia 1994 dan 1998, belanda selalu kalah. Jadi, kemenangan Belanda versus Brasil ini adalah sejarah tahun 1974 yang silam, dimana mereka juga tampil di final.

Saya tidak menjagokan sama sekali Spanyol, meskipun mereka adalah “macan” yang dijamin “menang” di Piala Dunia kali ini. Spanyol memang tangguh, tapi sejarah belum pernah membuktikan mereka berprestasi baik. Piala Dunia sebelumnya, Spanyol yang tangguh di babak awal, kalah 3-2 lawan Prancis yang tidak bagus di babak awal. Tahun 2002, labih tragis lagi, mereka kalah dengan Korea Selatan di perempat final via adu pinalti. Di tahun 1998 malah tidak lolos ke babak ke dua setelah dikalahkan Nigeria di fase grup. Di tahun 1994 mereka kalah oleh Italia di perempat final, 1990 juga demikian, mereka kalah di perempat final. Tahun 1986 kalah oleh Belgia di perempat final dan saat tuan rumah di Spanyo 1982, mereka tidak lolos ke babak ketiga.

Spanyo hanya berjaya di klub. Real Madrid, barcelona adalah kampium Piala Champion. Tapi di Tim Nasional, prestasi di Piala Eropa 2008 hanyalah satu-satunya yang terbaik akhir-akhir ini. Piala Dunia 1950 mereka juara keempat, inilah satu-satunya prestasi terbaik di Piala Dunia, dan tahun 1964 juara Eropa pula.

Buruknya prestasi Spanyol di Piala Dunia tidak membuat sennag para suporternya. Saya pernah membaca di koran, lolosnya Spanyol di babak perempat final Piala Dunia, tidak terlalu antusias disambut suporternya, sebab di Spanyol jarang lolos dari babak ini. Jadi menurut catatan sejarah, lolosnya Spanyol ke final Piala Dunia adalah “catatan buruk” bagi mapannya sejarah Piala Dunia, yang hanya memunculkan 7 juara dunia.

Kemenangan tim baru di Piala Dunia terjadi di prancis 1998 saat tuan rumah mengalahkan Brasil yang “misterius” dengan “mabuknya” Ronaldo. Waktu itu, Prancis tidak dianggap sebagai “catatan buruk buat mapannya sejarah” Piala Dunia. Sebab, menurut ramalan “parabola” yang populer di Inggris waktu itu, menyebutkan bahwa Piala Dunia 1998 akan identik dengan Piala Dunia 1966 di Inggris. Saya saat itu setuju dengan ramalan parabola. Maksud ramalan ini adalah, ketika susunan juara Piala Dunia di ‘poroskan’ dari kemenangan Italia tahun 1982, maka Piala Dunia tahun 1998 mungkin akan sama dengan tahun 1966. Lihat saja; sebelum dan sesudah Italia juara tahun 1982, Argentina adalah pemenangnya, yaitu 1978 dan 1986. Demikian pula, sebelum tahun 1978 dan sesudah 1986, juaranya adalah Jerman, yaitu tahun 1974 dan 1990. Demikian pula sebelum dan sesudah Jerman Juara di Piala Dunia itu, Brasil adalah juaranya, yaitu tahun 1970 dan 1994. Dengan demikian Piala Dunia tahun 1998, yaitu Piala Dunia sesudah tahun 1994 dimana Brasil juara, maka tahun 1998 ini akan identik dengan Piala Dunia sebelum tahun 1970 dimana Brasi menjadi juara, yaitu Piala Dunia 1966.

Piala Dunia tahun 1966 memunculkan juara yaitu Inggris. Inggris pula yang menjadi tuan rumah. Antusiasme suporter Inggris adalah “inggris akan kembali menang sebagaimana tahun 1966 saat ia menjadi tuan rumah, sebagaimana yang diramalkan ramalan parabola”. Namun meskipun saya menyetujui ramalan parabola ini, saat itu saya sangsi Ingris akan juara. Tapi Prancis, kata saya. Kenapa? Sebab Prancis adalah tuan rumah dan ini tetap tidak “menyalahi” ramalan parabola dimana memang tahun 1966 pemenangnya adalah tuan ruma: Inggris. Jadi, kemiripan piala dunia 1966 dan 1998 tetap ada, sesuai dengan ramalan parabola itu: Tuan Rumah Piala Dunia adalah Pemenangnya. Prancis 1998 = Inggris 1966.

Itulah secuil sejarah yang “tidak menyalahi’ mapannya sejarah Piala Dunia, dimana tahun 1998 memunculkan juara baru Prancis. Memang tidak sebagaimana Spanyol di Piala Dunia kali ini, 2010 ini, yang dianggap “menyalahi sejarah”. Maka kemenangan Spanyol di Piala Dunia 2010 ini tidak didukung oleh “ramalan yang pas”. Mungkin hanya ramalan gurita “paul” yang mendukung Spanyol menjadi juara. Tapi kenapa harus percaya pada “paul”?

Jkt, 12 Juli 2010
Blog EntriJul 13, '10 3:45 AM
untuk semuanya
Catatan Piala Dunia 2010 (1)
Masad Masrur

Tidak mungkin tidak, saya harus mencatat Piala Dunia 2010 ini. Sebab, ini adalah momen impian yang sekaligus mengingatkan pada kita soal “umur”. Iya, umur beneran. Maksudnya usia kita.
Dulu aku kenal Piala Dunia adalah ketika di Mexico tahun 1986. Seingatku, waktu itu aku kelas 2 SD. Pemain yang “kondang” saat itu, tentu saja, adalah Maradona. Maradona, yang sekarang menjadi pelatih Argentina. Begitu kondangnya Maradona, sehingga, yang aku tahu sampai sekarang adalah bahwa sepakbola Piala Dunia adalah Maradona dan Argentina. Jadi ketika ada tim-tim lain yang menjadi “kompetitor” Argentina di Piala Dunia, aku berharap mereka selalu kalah.

Awalnya, aku pikir, sepakbola Piala Dunia Mexico 1986 yang ditayangkan di TVRI setiap sore itu dimainkan oleh klub-klub di Indonesia. aku tidak begitu peduli dengan bapak, paklik-paklik, yang pada nontong “njinggleng” di depan TV. Tapi pas Final ntara Jerman Barat dan Argentina, aku baru tahu kalau Maradona itu bukan berasal dari klub Indonesia, apalagi ia orang Argentina, Maradona ternyata orang Argentina. Setelah itu, aku telusuri Tabloid Bola yang sering dibeli kakakku waktu itu, aku baru tahu kalau Indonesia tidak pernah ikut Piala Dunia, kecuali tahun 1938 di Prancis.

Kemudian, setelah saya pikir-pikir, Piala Dunia yang hanya dilangsungkan empat tahunan itu, bisa menjadi parameter usia kita. Tahun 1986, waktu itu aku kelas 2 atau kelas 3 SD, Piala Dunia berikutnya, tahun 1990 di Italia, aku sudah kelas 1 SMP, jadi lebih paham lagi soal Piala Dunia. Waktu itu, di Italia, Argentina “terkejut” kalah dari Kamerun. Kemudian nama Kamerun dan Roger Milla menjadi “mendunia”. Sayangnya, saat itu yang menayangkan Piala Dunia adalah RCTI, televisi swasta yang belum “siaran” di kampungku. Waktu aku ke Jakarta, aku melihat banyak baliho dan poster-poster besar Piala Dunia 1990, seperti Maradona, Gullit, van Basten dan lain-lain.

Final Piala Dunia 1990 akhirnya tetap menampilkan Argentina sebagai tim yang akan menang, lagi-lagi versus Jerman yang sudah bersatu dengan Jerman Timur. Argentina kalah 0-1, pertandingannya buruk, karena Argentina mendapat dua kartu merah. Argentina malah dicap sebagai tim terburuk sepanjang turnamen yang lolos ke Final. Dua kali adu pinalti di pertandingan semifinal dan perempat final, membuat Argentina disebut-sebut sebagai tim yang “tidak layak” menang di Piala Dunia 1990. Betul juga, di korang-koran disebutkan bahwa, gol Andreas Brehme di final, “sudah diatur mafia”. Maradona menangis, hampir tidak mau menerima medali. Tapi bagiku, yang sejak kecil hanya tahu Maradona, menganggap bahwa Maradona adalah “can do no wrong”. Biarpun kalah, tapi bukan kesalahannya.
Pas Piala Dunia 1994 di Amerika, aku sudah kelas 1 SMA. Waktu itu habis kemah di tawangmangu, “digojlog” para senior. Rasanya bosan, jadi satu-satunya yang patut ditunggu saat itu adalah “Fifa World Cup USA 1994”. Pemain yang “kondang” saat itu adalah Carlos Valderrama, kapten Kolombia. Gondrongnya lucu mirip Gullit, tapi bule. Sayang Kolombia, yang empat tahun sebelumnya di Italia lolos ke babak kedua, kini gagal melaju ke babak berikutnya. Kolombia kalah oleh AS, karena gol bunuh diri Andreas Escobar. Escobar sendiri tewas ditembak mafia judi yang rugi besar karena gol bunuh dirinya.
Aku tidak terlalu menyukai Brasil, sebab tim ini sepanjang Piala Dunia yang pernah aku lihat, tidak mengesankan. Tahun 1986, Brasil kalah adu pinalti dengan Prancis. Di Piala Dunia 1990, malah kalah dari Argentina, padahal Argentina waktu itu hanya mengandalkan serangan balik dan terus bertahan. Lagi-lagi memang nasibnya Maradona dan Argentina, Claudio Canniggia mencetak gol tunggal ke gawang Brasil. Dan Brasil “tak berani pulang”.

Bicara Piala Dunia, tidak mungkin tidak, pasti akan bicara Maradona. Awalnya Maradona tampil “nggegirisi” membantai 4-0 Yunani, tim yang paling awal lolos ke USA 1994. Kemudian menaklukkan Nigeria, ada juga gol Cannigiia saat itu. Tapi melawan Bulgaria, setelah dopping Maradona “konangan”, Argentina kalah. Babak kedua Argentina kalah lagi lawan Rumania.
“tahu rasa kau Maradona”, begitu kira-kira poster yang dibentangkan “suporter Inggris” yang ada di Amerika. Padahal Inggris endiri tidak lolos di USA 1994. Tapi karena dendamnya di Piala Dunia 1986, “gol tangan tuhan” Maradona menyakitkan Inggris. Spanduk itulah satu-satunya yang meneriaki Maradona di Piala Dunia 1994.

Empat tahun berikutnya di Prancis juga begitu. Inilah Piala Dunia pertama yang “tanpa Maradona” sejak 1982 di Spanyol. Rasanya sepi tanpa Maradona. Tapi aku terhibur dengan Argentina yang “kembali” mengalahkan Inggris di babak kedua. Waktu itu adu pinalti mengalahkan Inggris dari Argentina. Artinya sepanjang Piala Dunia yang aku lihat, Inggris belum menang lawan Argentina. Tapi sudahlah, hanya sampai disitu kemenangan Argentina. Kali ini kalah di tangan Belanda di babak perempat final.
Yang paling menjemukan adalah kelalahan Argentina di Piala Dunia 2002, bahkan Argentina tidak lolos ke babk kedua. Semua orang yang menjagokan Argentina di 2002, menangis, sepi sekali Piala Dunia ini sudah tanpa Maradona, dan ditambah lagi, tanpa Argentina.

Tahun1998, aku kuliah semester 3, dan 2002, aku mestinya sudah lulus kuliah, tapi masih nonton di kos-kosan bersama teman-teman kos. Tahun 2002 ini cerita tentang Piala Dunia tetap banyak. Tapi bagiku, absennya Argentina di babak-babak berikutnya, membuatku hanya menunggu kejutan tim-tim underdog. Benar saja, Korea Selatan juara 4 di Piala Dunia itu. Bangganya Korea, bangganya Asia.
Tahun 2006 aku sudah di Jakarta. Tepatnya kapan dan dimana aku, malah aku tidak begitu ingat. Yang pasti saat itu sudah di Jakarta dan belum mendapat pekerjaan yang jelas. Masih nganggur dan ‘lontang-lantung’ di Jakarta. Tahun ini Piala Dunia nya bagus, karena berlangsung di Jerman, tapi sebetulnya tidak bagus, karena tim-tim yang aku unggulkan kalah. Lagi-lagi, Argentina harus kalah lawan Jerman via adu pinalti. Italia Juara untuk yang ke empat kalinya, Prancis yang empat tahun sebelumnya tidak lolos ke babak kedua, tampil di final dan “anti-klimaks”.

Tahun 2010 ini, usiaku sudah lewat 30 tahun, dan sudah bekerja. Dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya, empat tahun sebelumnya lagi dan empat tahun sebelumnya lagi, dan empat tahun sebelumnya lagi dan empat tahun sebelumnya lagi, tentu dapat diselidiki bahwa setiap momen Piala Dunia, adalah menunjukkan jalan hidupku. Pas Piala Dunia ini, aku ada dimana ya? Pas Piala Dunia ini, aku ada dimana ya? Pas Piala Dunia ini, aku ada dimana ya?

Mengomentari Piala Dunia 2010, aku berfikir bahwa Amerika Latin akan kembali berjaya di Piala Dunia ini, dan Afrika akan “bergolak” dengan prestasi tim-timnya di benua sendiri. Ramalanku adalah, Eropa tidak akan menang di Piala Dunia diluar benuanya. Afrika akan mengejutkan seperti halnya Asia mengejutkan di Korea-Jepang 2002. Tapi realitasnya, sesudah Piala Dunia 2010 ini usai, kejutan-kejutan yang “sesungguhnya” bisa terjadi. Piala Dunia yang aku anggap “sakral” dan sulit diubah tradisi sejarahnya, berubah disini. Eropa pertama kali menjuarai Piala Dunia diluar benuanya. Dan ada juara ke delapan yang pernah mencium Fifa World Cup atau Julles Rimet Cup.

Melihat kejutan ini, aku menganggap bahwa optimisme bagi setiap “yang mau berjuang” akan terwujud.
Di siaran final Piala Dunia 2010 ini, Presiden SBY mengatakan bahwa akan melakukan “berbagai cara” agar prestasi tim nasional PSSI bisa lolos ke ajang lebih tinggi. Di ASEAN atau Asia. Untuk kejuaraan Piala Dunia ini mungkin masih jauh. Tapi, melihat kejutan yang “bisa muncul setiap saat” di Pala Dunia 2010 ini, aku optimis, bahwa PSSI bisa saja lolos, meski berat dan lambat.

Jkt 12 Juli 2010
Blog EntriMar 31, '10 11:10 AM
untuk semuanya
Hayono Isman, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Oktober 1943 adalah politisi senior dan juga aktif di organisasi kemasyarakatan KOSGORO, parpol, lembaga eksekutif (pemerintahan), maupun legislatif (DPR). Dua kali menjadi anggota DPR, yakni periode 1987-1992 dan 1992-1993. Saat itu, menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan (Golkar). Pada Pemilu 2009, melalui Partai Demokrat, terpilih menjadi anggota dewan untuk masa bakti 2009-2014 Dapil DKI Jaya I (Jakarta Timur). Ia adalah Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998).
1.    Bagaimana kebijakan pemerintah pada saat anda sebagai menteri terhadap masalah kepamudaan dan khususnya KNPI?
Ada yang menarik, sebelum saya menjadi menteri, saya adalah ketua umum KOSGORO. Bersama ketua umum lainnya, seperti dari Kelompok Cipayung, FKPPI, bersepakat bahwa KNPI harus direformasi. Terutama terhadap cara pemilihan Ketua Umum KNPI, yang sebelumnya formatur menjadi dipilih langsung. Dan, saya baru tahu setelah saya jadi menteri, yang menentukan Ketua Umum KNPI itu Panglima ABRI, menggunakan kepanjangan tangan formatur. Formatur dipanggil Pangab di Mabes, kemudian mereka merundingkan siapa yang akan menjadi ketua umumnya.
Pada saat saya jadi menteri tahun 1993, April 1993, dan Kongres KNPI Oktober 1993. Disitu saya meneruskan aspirasi diantara pimpinan OKP, bagaimana Kongres tahun 1993 itu direformasi, dan alhamdulillah berhasil, meski ada friksi dengan Pangab, karena mereka tidak suka ditentukan oleh Menpora, meskipun itu juga atas petunjuk presiden. Yang sebetulnya saya siasati.
Petunjuk beliau adalah, pada saat saya melapor soal kongres, dan untuk ketua umum, kata beliau, tanyakan pada Panglima ABRI. Tapi saya sampaikan juga, bahwa ada aspirasi bahwa kongres kali ini perlu adanya perubahan sehingga keadaan menjadi lebih demokratis. Kalau itu sudah menjadi keinginan, silahkan dibicarakan, kata presiden.
Saya mengambil kata “silahkan” itu sebagai sebuah persetujuan. Saya membicarakan dengan Mabes, dia katakan belum perlu, dan janganlah mendadak perlu proses dan sebagainya. Tapi, kalau perlu proses, perlu 100 tahun lagi tak akan berubah. Tahun 1993 itu terpilih Pak Tubagus Haryono. Dan tahun 1996 menarik, saya lepas saja, calonnya mbak Tutut kalah. Saya dihubungi oleh Pangab. Pangab masih ingin dengan pola lama dan menyebarkan di koran bahwa ia pilih Joko Purwongemboro, mbak tutut pilih Taufik Hidayat, tapi yang terpilih Maulana Isman.
Saya sangat kecewa dengan terpecahnya KNPI sekarang. Di era reformasi yang demokratis, terbuka dan fair, ini kok pecah. Kalah menang, kan mestinya terhormat. Saya diundang untuk memediasi, saya menolak, sebab ini urusan pemuda.
2.    Ketika jaman Orba, kooptasi pemerintah kuat, tapi lebih “teratur”. Apakah zaman itu anak-anak muda lebih pragmatis atau lebih idealis di era sekarang?
Yang saya tahu, saya hormat dengan pimpinan anak muda. Karena dengan adanya era yang sangat otoriter, mereka tetap ikut arus, tetapi tidak tenggelam. Kepala tetap diatas air. Bukan itu saja, mereka dengan tangannya tetap berusaha meraih sesuatu yang baik, yaitu perubahan. Misalnya, pemilihan ketua dari formatur yang ditentukan Pangab, ke pemilihan langsng, voting terbuka.
Menurut saya, itu sulit dilakukan di era otoriter. Kalau perubahan secara kekerasan sih itu sejarah yang menentukan. Tapi berubah dengan cara-cara yang damai juga tidak lebih mudah.
Yang penting pada waktu itu adalah antara pemerintah dan pemudanya adalah satu visi dan satu hati, karena saya datang dari ketua umum OKP. Kosgoro. Dan Kosgoro adalah salah satu pendiri Golkar, yaitu jalur “G”. Tapi yang saya tahu, kader Kosgoro itu kritis dan kadernya terus mempertahankan kekritisannya pada pemerintah. Dan yang menarik waktu itu ada perubahan di era otoriter.
3.    Sebetulnya resources apa yang ditawarkan oleh pemerintah waktu itu, sehingga para pemuda itu antri masuk ke KNPI?
Tidak semuanya berfikiran pragmatis seperti itu. Tidak semuanya. Saya tahu persis, bersama-sama teman-teman seangkatan saya waktu itu, tujuannya tidak mencari jabatan. Apalagi KNPI adalah tempat berhimpun bukan hanya dari Golkar, tapi juga PDI dan PPP. Dan termasuk yang oposisi dengan kekuasaan waktu itu. Sehingga, menurut saya, arus besarnya adalah idealisme. Kalau ada satu-dua yang berkepentingan, itu wajarlah.
Misalnya ingin menjadi ketua umum KNPI, kemudian ingin menjadi menteri, tetapi idealisme dasarnya idealisme. Perlu dicatat bahwa saya menjadi menteri tidak pernah menjadi ketua umum KNPI. Tidak pernah menjadi pengurus KNPI.
4.    Saya menyebut era Orde Baru adalah era korporatisme negara. Didalamnya KNPI sebagai bagian dari rezim korporatis. Menurut anda?
Pada era saya, tidak. Karena salah satunya ketua umum sudah dipilih secara langsung oleh pemuda. Pemilihan ini juga menular ke daerah-daerah, Musda-musda juga melakukan itu, dimana di masa lalu yang menentukan ketua DPD adalh staf politik Kodam, sebagai kepanjangan ketua Kodam. Pada era saya inilah yang tidak lagi. Nah, inilah yang menurut saya sadar atau tidak, menjadi salah satu fondasi yang mendukung kehadiran reformasi. Ini adalah fase tersendiri, dimana sebelum 1993 sampai reformasi 1998 adalah fase demokratisasi yang membawa keluar.
Kalau HMI sudah pemilihan langsung, terutama kelompok Cipanyung, kalau FKPPI juga pemilihan langsung tapi tetap atas petunjuk panglima ABRI. Tapi KNPI sejak tahun 1993 itu melepaskan diri dari kekuasaan.
5.    GBHN ada dana untuk KNPI, apakah ini bentuk penegaraan kegiatan pemuda, dan membuat pemuda tergantung pada pemerintah, pragmatis?
Itu tidak bisa dipungkiri, tapi tahun 1993-1996, kita dengan cerdas mampu mengelola dengan baik. Bagaimana melepas dari hegemoni kekuasaan dengan mengedepankan demokratisasi tapi tetap mendapat anggaran. Ini adalah anggaran negara, bukan anggaran kekuasaan. Hanya memang dilakukan oleh kekuasaan. Kecerdasan KNPI saat itu adalah, didalam perubahan itu tetap mendapat dukungan dari negara.
Pasca GBHN menghapus anggaran langsung kepada KNPI, KNPI tidak turun. Yang turun justru pada saat perpecahan sekarang ini. Karena setelah reformasi KNPI tetap eksis dimana-mana, dinamis dan diikuti oleh OKP-OKP.
Jadi yang menjadi masalah adalah ketika KNPI pecah menjadi dua. Karena KNPI tidak lagi tempil sebagai simbol berhimpunnya Ormas-ormas pemuda.
Dana APBN dicabut, semangat KNPI malah lebih tinggi. Bisa di cek di lapangan bahwa setelah reformasi, tahun 1999 dan sampai sekarang, dinamis sekali Kongresnya. Tidak mati, bahkan makin diperebutkan.
6.    Bagaimana dengan kepentingan politik pemuda yang makin menguat di era reformasi ini.
Saya tidak berkomentar, karena saya bukan menteri lagi dan bukan ketua OKP. Sayalihat, ada kerinduan di pimpinan Ormas pemuda agar KNPI menjadi eksis, sebagai wadah berhimpun yang sebenar-benarnya. Karena mereka sadar, mereka sedang berbeda pendapat, tapi ingat, mestinyaperbedaan ini jangan memperlemah kesatuan pemuda.
Berbeda dengan misalnya dengan berhimpun di HMI, PMKRI, hanya di KNPI kita bisa dijadikan sebagai forum komunikasi yang menyatukan. Oleh karena itu, saya menghimbau pada ketua umum KNPI sekarang, yang sekarang satu partai. Jangan mempermalukan partai mereka ini.
7.    Bagaimana peran Pak Adhyaksa?
Itu salah satu kontribusi terhadap pecahnya KNPI. Tapi sebagai pemuda, mestinya tidak perlu menyalahkan orang lain. Harus mereka sendiri yang bisa mengawal dari intervensi siapapun. Pak Adhyaksa pernah menjadi ketua KNPI, jadi ada pengaruhnya. Tapi pemudalah yang sebenarnya mengawal dari berbagai intervensi.
8.    Setiap fase pergerakan pemuda, ada paradigmanya sendiri, apa perbedaanya?
Satu yang tidak pernah berubah, menurut saya adalah, KNPI adalah wadah berhimpun yang bertugas untuk menjaga keutuhan NKRI. Di era manapun. Di era Orba, reformasi, atau era-era kedepan. Karena itulah satu-satunya wadah yang bisa diterima oleh semua organisasi kepemudaan. Kalau membuat baru lagi, belum lagi ada pikiran suudhon dan sebagainya. Perbaikilah yang ada sekarang, toh KNPI pernah mereformasi dirinya sendiri di era Orde Baru. Meski pada saat itu buka reformasi istilahnya. Toh juga tidak ada duitnya.
Di era reformasi justru makin jelas, KNPI tidak bisa untuk meraih kekuasaan. Jadi tidak mungkin. Duit nggak dapat, alat untuk menjadi menteri juga belum tentu.
Proses demokrasi tidak ada yang selalu sempurna. Kalau ada salah pilih, bukan lantas salah dalam prosesnya. Harus dihormati hasil demokrasi itu. Yang kita jaga bukan semata-mata hasilnya, tapi prosesnya juga.
9.    Terima kasih.
Blog EntriMar 31, '10 11:06 AM
untuk semuanya
Tjahjo Kumolo, lahir di Solo, Jawa Tengah, 01 Desember 1957. Pendidikan formalnya di SMPN IV Semarang, 1970-1973, SMAN I Semarang, 1974-1976, Fakultas Hukum Undip Semarang, 1977-1985. Pendidikan non-formalnya di Lemhanas, Jakarta, 1994. Pengalaman organisasi yang ditempuhnya adalah [1] Wakil Ketua AMPI, Jawa Tengah, 1983-1988, [2] Sekretaris DPP MKGR-1, Jakarta, 1984-1988, [3] Ketua KNPI, Jawa Tengah, 1985, [4] Sekretaris Jenderal KNPI, Jawa Tengah, 1987-1990, [5] Ketua DPM Pusat/Wanita FFKKPI, Jakarta, 1989-1993, [6] Ketua Umum KNPI Pusat, Jakarta, 1990-1993, [7] Pengurus DPP MKGR-1, Jakarta, 1990-1995, [8] Wakil Sekretaris FPDI-Perjuangan DPR RI, Jakarta, 1999, [9] Direktur SDM Litbang DPP PDI-Perjuangan, Jakarta, 1999, [10] Wakil Sekretaris FPDI-Perjuangan DPR-RI, Jakarta, 1999-sekarang , dan lainnya.  Sebelum di PDI-Perjuangan, ia sempat menjadi Anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR/MPR RI Pusat, 1987-1997.

1.    Mengapa anda masuk KNPI, tidakkah anda takut terhadap kooptasi negara saat itu?
Saat sebagai mahasiswa, awalnya saya ikut menolak keberadaan KNPI sebagai organisasi bentukan pemerintah bersama gerakan yang lain. Salah satu dosen saya yang sudah jadi pengurus KNPI mengajak saya berdiskusi tentang kepemudaan dan organisasi wadah berhimpunnya pemuda serta KNPI. Sarannya, kalau mau perbaiki sebuah rumah, ya masuk saja daripada teriak-teriak di jalan, setelah didalam dapat dibenahi dengan berbagai cara. Sejak itu saya masuk, mulai aktif sebagai anggota di KNPI Kodya Semarang, kemudian naik menjadi anggota pengurus biro KNPI Jateng yang hadir di Kongres KNPI mewakili aspirasi daerah. Kemudian menjadi Sekjend DPP KNPI dan didukung oleh beberapa Ormas seperti Pemuda PPM, FKPPI, MKGR, HMNI, GPM dan lain-lain, saya melalui voting menduduki sebagai Ketua Umum KNPI dalam Kongres KNPI tahun 1990-1993.
2.    Setelah masuk di KNPI, apakah anda berhasil membenahi pemuda “dari dalam”?
Posisi KNPI sebagai wadah berhimpunnya organisasi organisasi Pemuda/Kemahasiswaan, yang mana KNPI jangan menjadi saingan Ormas Pemuda tersebut, KNPI harus kritis berpihak kepada kepentingan pemuda dan masysrakat umumnya. Kalau ada kebijakan pemerintah yang baik disosialisasikan, kalau ada kebijakan pemerintah yang kurang baik, dikritisi. Pemilihan Ketua KNPI jaman saya bisa terbuka, tidak dengan arahan Menpora atau Dirjend. Sospol Depdagri. Selama saya menjadi Ketua KNPI Jawa Tengah dan Sekjend Ketua Umum, memang belum optimal, tetapi sebagaimana idealnya KNPI sebagai organisasi kepemudaan nasional dan sebagai wadah berhimpunnya organisasi pemuda, setidaknya sudah mengembalikan posisi KNPI sebagai wadah berhimpunnya organisasi pemuda/mahasiswa yang punya massa pemuda dan sebagai laboratorium kaderisasi pemuda secara nasional. Anggota KNPI, ya anggota ormas pemuda/mahasiswa. Jadi, KNPI bukan organisasi massa.
3.    Recources politik/ekonomi apa yang anda dapatkan dari pemerintah selama menjadi elite pemuda?
Akses Politik, secara pribadi bisa menyampaikan terbuka via pers atau pribadi kepada presiden dan menteri-menteri. Saya tidak harus langsung ke Menpora. Ke Menpora hanya koordinasi masalah kepemudaan. KNPI bukan bawahannya Menpora. Ini sekedar contoh.
Eksistensi KNPI solid kalau ormas pemuda sebagai anggota KNPI juga solid baik, bisa melaksanakan program kerja dan kaderisasi. Biasanya Parpol ambil kadernya dari KNPI. Banyak dari Golkar, PPP, PDI saat itu. Misalnya PDI, ada Suryadi, Mangara Suparlan, Tjahjo Kumolo dan lainnya. Golkar ada Akbar Tandjung, Abdul Ghafur, Theo Sambuaga, Adhyaksa, Idrus dan lainnya. PPP ada Ismail Hasan, wakil ketua PPP sekarang, dan lain-lain.
4.    Bagaimana dengan recources ekonomi, bukankah KNPI dapat anggaran dari APBN?
Waktu saya menjadi Ketua DPD KNPI Jawa Tengah, berkat loby dengan Gubernur Jateng, ada dana yang cukup dari APBD. Saat posisi saya Sekjend dan Ketua Umum, demikin pula ada dana dari  APBN, ada dana partisipasi program lewat program kerjasama dengan Menpora, kerjasama dengan departemen lain, misalnya BKKBN, KONI, Departemen Lingkungan Hidup, Kehutanan, Diknas, Sosial, organisasi swasta lain, misalnya KADIN, HIPMI, Asosiasi lain, dan sebagainya, sehingga ada dana operasional buat KNPI dan ormas pemuda.
Setelah Reformasi, yang saya tahu dana APBN yang mata anggaran KNPI sudah tidak ada lagi, sudah dihapus. Tapi, harusnya masih bisa dikoordinasikan dengan instansi departemen lain untuk kerjasama program, disamping dari Menpora khususnya. Siap menjadi pengurus KNPI ya harus aktif jemput bola, berkomunikasi dengan pihak ketiga, sebab kalau tidak, bisa repot sekarang ini, dan bisa hilang orang-orang KNPI. Sekarang anak muda lebih memilih langsung masuk ke Partai Politik daripada lewat beraktifitas dulu di KNPI. Sekarang, saya ketua Fraksi di DPR, banyak membantu komunikasi di DPR, karena banyak rekan-rekan sesama KNPI dan organisasi kepemudaan yang datang.
5.    Ketika KNPI dituntut bubar oleh sejumlah OKP, apa tanggapan anda saat itu?
Mungkin ini hanya masalah komunikasi saja, kalau adanya OKP yang meminta KNPI bubar, harusnya yang menjadi pengurus KNPI sadar bahwa jadinya pengurus KNPI karena OKP, dan OKP juga harus ikut bertanggungjawab terhadap keberadaan KNPI, dan ini historisnya begitu. Siapapun Menporanya, harusnya ia netral dan tidak memihak. Sekarang ada dua kepengurusan KNPI. Memalukan memang kalau KNPI sebagai wadah berhimpun saja ada dua kepengurusan. Seperti OKP saja, sampai ada dua kepengurusan.
6.    Apa beda pemuda/KNPI pada era reformasi ini dengan era Orde Baru? Apakah kini lebih kritis, atau sebaliknya?
Pemuda dan mahasiswa usia 40 tahun ke bawah era sekarang, menurut saya lebih kritis dan mengelompok dalam skala kecil menyampaikan kasus-perkasus yang menjadi opini nasional. Belum tampak pemuda dengan mencermati sendiri kondisi masyarakat atau pembangunan menemukan sesuatu dan terbuka mengkritisi. Ada temuan orisinil yang dikritisi. Sekarang kan, banyak pemuda bergerak kritis terhadap isu yang sudah tercipta, misalnya isu Prita, Cicak-Buaya, Century, 100 hari Kabinet, dan lain-lain, akan lebih baik isu kedaerahan dikritisi pada fokus daerah. Masalah keistimewaan Jogja, mahasiswa juga harus kritis, disamping masalah nasional.
Zaman Orde Baru, setelah KAMI, KAPI tahun 1966, dan reformasi, berlum ada yang menonjol. Organisasi kemahasiswaan saja tidak terbuka karena sistem pemerintah represif. Kulminasinya saat reformasi, baru bisa bersatu. Isu tunggal baru bisa menyatukan mereka secara nasional.
7.    Apakah dualisme DPP-KNPI sekarang ini akibat sikap kritis atau sikap pemuda yang mulai pragmatis?
Saya ambil positifnya saja, sebagai sikap kritis mereka. Mungkin dalam proses kongres, kuang fair. Kurang diajak bicara. Mungkin keberpihakan Menpora, atau masih ada kepentingan politik yang melibatkan diri. Harusnya Parpol netral saja. Jadi penonton yang baik saja. Kalau ada pemuda yang anggota Parpol, bermain atas nama ormas pemuda misalnya, ya silahkan asal fair. Jangan bawa kekuatan atribut parpolnya.
8.    Apa beda intervensi pemerintah di era orde baru dengan intervensi era saat ini? Apakah intervensi pemerintah memang masih diperlukan?
Sebenarnya, prinsip dasarnya sama, ya kepentingan politik pemerintah atau oknum pemerintah yang dipemerintahan. Misalnya, Menpora punya kepentingan politik agar KNPI dukung setiap programnya dan dukung pribadi tersebut.
Kalau dulu zaman Orde Baru, calon ketua umum dan sekjend, pemerintah melalui dirjend Sospol dan BIN/BIA TNI terlibat ikut fit and proper test dulu, kalau sudak oke baru disosialisasikan baik, didukung dan, jadi. Kalau tidak ya dihilangkan namanya dari percaturan politik dengan isu ini dan itu, dan tidak didukung. Selesai.
Memang harus pandai-pandai berkelit bergaining diplomasi dalam percaturan perpolitikan dunia kepemudaan. Jadi, setidaknya sama saja, hanya agak diperlonggar saja. Dulu kalau ada friksi, pemerintah ambil oper, sekarang juga begitu tapi tak pernah tuntas. Dulu tuntas.
Dalam membangun program kerja, bisa bersama. Tapi tahapan konsolidasi organisasi dan rekruitmen kepemimpinan serta sikap politik KNPI serahkan kepada organisasi Pemuda/Mahasiswa saja yang terhimpun dalam KNPI. Biarkan yang terpilih, yang mengakar ke bawah (ormas/pemuda), jangan yang mengakar ke atas. Nanti KNPI bisa sebagai wakil Menpora, kan tidak lucu.
9.    Terima kasih
Blog EntriMar 31, '10 11:00 AM
untuk semuanya
Akbar Tanjung, lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 14 Agustus 1945. Pendidikan di SR Muhammadiyah, Sorkam (Tapanuli Tengah) dan SD Nasrani, Jalan Seram, Medan (Sumatera Utara). Menamatkan di SMP Perguruan Tinggi Cikini (Jakarta), dan SMA Kolese Kanisius (Jakarta). Lulus Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Pascasarjana Doktoral Universitas Gadjah Mada. Pada 1966, menjadi aktivis (KAMI-UI) dan LASKAR AMPERA Arief Rahman Hakim. Pada 1967-1968, menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UI. Pada 1968, aktif di Dema UI dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI. Pada 1969-1970, menjabat Ketua Umum HMI Cabang Jakarta. Pada 1972, mendirikan Forum Komunikasi Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter (GMNI, GMKI, PMKRI, PMII, dan HMI /Kelompok Cipayung). Pada 1973, mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Pada 1978, mendirikan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia atau disingkat AMPI. Pada 1983-1988, menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Pada 1988-1993, menjadi anggota Dewan Pembina DPP Golkar. Pada 1993-1998, menjabat Sekretaris Dewan Pembina Golkar dan Ketua Umum Partai Golkar pada periode 1998-2004.
1.    Sejauhmana kekhawatiran pemuda/mahasiswa kepada kooptasi pemerintah atau negara pada saat KNPI dibentuk?
Kalau kita lihat dari sejarah, berdirinya KNPI adalah salah satu bagian dari strategi pemerintah atau penguasa untuk menciptakan kekuatan-kekuatan masyarakat itu secara formal berdasarkan pendekatan-pendekatan fungsional. Dimana kekuatan-kekuatan itu melembaga dalam bentuk organisasi-organisasi, seperti organisasi Tani, Buruh, Wartawan, dan lain-lain, termasuk kekuatan organisasi pemuda. Berbeda dengan sistem Orde Lama, dimana kekuatan-kekuatan itu didasarkan pada kekuatan-kekuatan dan kepentingan kepentingan politik. Misalnya Tani, ada Tani PKI, ada Tani NU, dan lain sebagainya. Jadi, pendekatannya adalah pendekatan politik yang dilakukan oleh partai-partai politik Orde Lama.
Oleh Orde Baru, pendekatannya dirubah menjadi pendekatan fungsional, walaupun sebetulnya secara politik itu menanamkan peranan negara. Peran pemerintah dalam organisasi-organisasi tersebut. Dengan kata lain, ada dalam rangka korporatisme negara. Ini berhasil dilakukan, dalam organisasi-organisasi seperti tani, buruh dan sebagainya, dengan menghilangkan eksistensi organisasi-organisasi lama. Organisasi-organisasi yang original tadi, praktis dihilangkan karena lebih sebagai organisasi-organiasi politik yang memperjuangkan partai politik yang mendirikannya. Ketika menjadi organisasi fungsional, maka mereka memperjuangkan fungsi mereka, misalnya organiasasi petani memperjuangkan petani.
Organisasi pemuda, awalnya juga akan mengarah kesana. Eksistensi awal, awalnya juga akan dieliminasi. Misalnya pemuda Katolik, Anshor dan sebagainya, dicoba dieliminasi, sehingga yang ditonjolkan KNPI-nya.
Pemuda menyadari, mereka dengan idealismenya, tidak mendukung. Termasuk saya di HMI. Namun, pada prinsipnya kita menyetujui adanya organisasi yang mengayomi pemuda, tetapi tidak menghilangkan eksistensi organisasi-organisasi awal yang menjadi pendiri KNPI.
Ada diskusi yang mendalam sehingga disepakati. Alasan yang dikemukakan pemuda saat itu adalah pembentukan organisasi pemuda, tidak bisa sama dengan pembentukan organisasi lainnya, seperti organisasi tani, buruh dan lainnya. karena pemuda merupakan kekuatan, entitas, yang memiliki idealisme dan merupakan kekuatan yang menjadi pelanjut cita-cita perjuangan pendahulu.
Oleh karena itu, waktu itu, kita menolak KNPI sebagai satu-satunya wadah pemuda karena mau dijadikan sebagai bagian dari korporatisme negara. Namun, akhirnya terjadi kompromi, KNPI sebagai wadah komunikasi dari para pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Bukan satu satunya wadah yang menghimpun pemuda, sebab tidak menghilangkan eksistensi organisasi pemuda lainnya. Tapi kalau mau disebut, KNPI adalah satu-satunya wadah komunikasi antar organisasi pemuda di Indonesia. Kalau pemerintah mau memaksakan sebagai satu-satunya wadah, kita pasti menolak.
Wadah komunikasi itu terkait dengan soal; bagaimana pemuda yang datang dari berbagai organisasi di seluruh tanah air itu betul-betul menjadi kekuatan potensi bangsa. Bagaimana membangun wawasan kebangsaan, bagaimana bisa mengembangkan program nasional, bagaimana mengembangkan program kepemimpinan pemuda. Jadi, posisi organisasi pemuda jelas beda treatmennya dengan organisasi buruh. Oleh karena itu, pada saat akan membuat deklarasi pemuda, antara lain ada catatan yang mengatakan bahwa KNPI bisa dibentuk tanpa menghilangkan eksistensi organisasi pemuda lainnya. Awalnya KNPI hanya akan dibentuk di pusat, tapi kemudian berkembang ke daerah. KNPI menjadi wadah komunikasi, atau parlemennya pemuda. Wadah untuk melatih kepemimpinan pemuda agar mampu mengembangkan potensi yang ada.
2.    Ketika “kompromi” dengan pemerintah, sebetulnya pemerintah menjanjikan resources apa terhadap pemuda di KNPI?
Memang kompromi itu berlangsung. Sebab, kita melawan kekuatan negara yang sangat besar kan tidak mungkin. Yang penting, yang menjadi kepentingan pemuda saat itu adalah, jangan sampai eksistensi awal mereka itu hilang, seperti yang dialami oleh organisasi buruh, tani dan sebagainya. Sebab kita adalah salahsatu kekuatan sosial yang mencerminkan keanekaragaman, bukan hanya sisi politik, tetapi juga dari sisi sosial dan kultural. Bahkan bukan hanya dari segi politik, tetapi juga dari segi ideologi.
Jadi, kalau mau menghilangkan eksistensi pemuda, sama dengan menghilangkan keanekaragaman sosial kultural, jadi tidak mungkin dihilangkan.
3.    Apa resources ekonomi maupun resouces politik yang dijanjikan atau didapatkan dari pemerintah, sehingga pemuda-pemuda mau masuk bahkan berebut ke KNPI?
Pemerintah sih tidak menjanjikan satu resources. Tetapi dengan KNPI, pemuda bisa memiliki kesempatan untuk membangun akses yang kuat dengan pemerintah. Dan peluang lainnya, bahwa mobilitas dari tokoh-tokoh pemuda, dalam memasuki jalur-jalur politik, akan dibikin mudah. Misalnya saya, saya HMI masuk KNPI aktif dan akses saya di jalur politik menjadi lebih kuat dan terbuka.
Sejauh idealisme pemuda dan eksistensi pemuda tidak diganggu, saya kira itu merupakan kesempatan untuk pemuda yang datang dari berbagai latar belakang organisasi, mempunyai akses untuk membangun mobilitas vertikalnya. Tidak hanya akses kepada pemerintah saja, atau hanya Golkar, tapi juga akses kepada PDI dan PPP. Karena melalui KNPI tokoh-tokoh itu telah menyamakan visi dan presepsi tentang Indonesia ke depan yang sama, dan pemerintah tentu mempunyai kepentingan, sehingga mereka bisa masuk ke jalur politik di Golkar, juga PDI dan PPP.
Kalau resources ekonomi tidak banyak. Kita hanya punya pengalaman-pengalaman internasional. Misalnya kita juga memiliki akses dan berafiliasi dengan WAY (World Assembly of Youth). Kalau segi materi ekonomi, KNPI bisa mengembangkan kegiatan-kegiatan ketrampilan pemuda, dengan “membonceng” program-program pemerintah yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas pemerintah untuk melakukan pelatihan-pelatihan bagi pemuda.
Kalau pemuda kristen, muhammadiyah, mereka tidak bisa, tetapi dengan KNPI, pemerintah bisa memberikan fasilitas-fasilitas dan pusat-pusat pelatihan yang dimiliki pemerintah.
4.    Bagaimana dinamika politik internal di KNPI, misalnya ketika dituntut bubar oleh pemudanya sendiri?
Memang ada kekhawatiran dari tokoh-tokoh pemuda tadi, dengan KNPI ada monolitisme, dan menjadi kooptasi organisasi-organisasi pemuda-kemahasiswaan. Meskipun kita mendapatkan resources tadi, kita tetapi tidak menginginkan adanya kooptasi-kooptasi yang dikhawatirkan itu. Kita tetap tidak menginginkan adanya politisasi, atau iklim yang monolitik, yang tidak kita inginkan, karena kita datang dari latr belakang yang beragam. Meski kami mendapat resources, kami tetap tidak mau dikooptasi, atau pemerintah mengkooptasi organisasi-organisasi kami.
Memang pemerintah akhirnya memberikan previlege, dengan memasukkanya dalam GBHN dan mendapat anggaran dari APBN, tapi kami tetap tidak menginginkan kooptasi. Memang, organisasi pemuda dan mahasiswa tetap mencurigai. Misalnya, kita tetap tidak mengganggu eksistensi organisasi. Tetapi mereka tetap kritis, meskipun misalnya, saya dari HMI, tetapi HMI tetap mengkritisi KNPI meskipun saya ada disitu.
5.    Era Reformasi dan Orde Baru, KNPI eksis. Tuntutan bubar, baik dari internal maupun eksternal, tidak terwujud. Bagaimana pendapat anda?
Di era Orde Baru, tidak mungkin ada orang yang mampu membubarkan KNPI. Karena KNPI berkaitan dengan kepentingan nasional, dan kepentingan negara. Di masa reformasi, KNPI tidak lagi dikutik-kutik, karena mereka memiliki kepentingan juga. Karena pemuda tetap memerlukan wadah komunikasi dan wadah berhimpun. Sehingga KNPI lebih merupakan suatu jembatan untuk melakukan komunikasi dari berbagai organisasi-organisasi pemuda yang ada. Sehingga, dengan demikian, mereka tidak merasa perlu menghilangkan KNPI, malah mereka merasa butuh, sehingga tidak ada kekuatan dan dorongan untuk membubarkan KNPI, meskipun reformasi telah memberikan kesempatan itu. Malah di era reformasi, perebutan dan pertarungan di KNPI lebih dinamis. Yang tidak terjadi di era Orde Baru. Kalaupun ada, pertarungannya hanya internal.
Pada waktu itu, iklim politik di KNPI adalah iklim politik yang didominasi oleh Golkar. Saya selepas HMI kemudian masuk Golkar dan Pemilu 1977 sudah masuk legislatif, sehingga ketika di KNPI, saya telah memiliki basis yang kuat yang tidak bisa menghambat saya untuk menjadi ketua KNPI. Selain itu saya juga telah memiliki hubungan yang khusus dengan tokoh-tokoh pemimpin Golkar, seperti Pak Amir Murtono, Ali Murtopo. Dengan demikian elit Golkar tidak bisa dipengaruhi untuk memblok saya untuk bisa menjadi ketua, meski banyak tokoh pemuda yang sebetulnya juga pantas menjadi ketua KNPI, seperti Marzuki Darusman, Aulia Rahman, dan lain-lain.
6.    Apa perbedaan pola pikir atau pola rekruitmen di era Orde Baru dan Reformasi?
Mungkin berbeda, karena didominasi oleh kebebasan, sehingga pemerintahpun tidak punya kewenangan lagi untuk mempengaruhi. Kalaupun ada pengaruh, itu lebih pada perbedaan-perbedaan kepentingan. Misalnya yang terakhir ini adalah lebih pada kepentingan Adhyaksa. Yaitu ketika Partai Pemuda yang akan digunakan oleh Adhyaksa untuk kendaraannya ternyata tidak bisa dikendalikannya, sehingga Adhyaksa “marah” pada Hasanuddin.
KNPI menghasilkan dua pengurus, yang Hasanuddin menghasilkan Doli Kurnia, dan menjadi ‘kekuatan lain’.
Jadi yang menonjol di era reformasi adalah, adanya kepentingan-kepentingan politik dari kekuatan-kekuatan yang memegang kekuasaan yang terkait dengan posisi-posisi ini. Misalnya, Adhyaksa, kepentingan politiknya bukan kepentingan politik pemerintah secara keseluruhan.
Atau kepentingan kekuatan politik yang berkompetisi dalam perpolitikan di Indonesia, sesuai dengan posisi yang ada di dalam pemerintah. Misalnya, kalau menteri pemudanya PKS, maka PKS yang mendominasi, kalau Demokrat mungkin juga begitu. Misalnya Doli, di KNPI telah menjadi average agar berkembang di Golkar. Sementara Azis tidak punya, ia hanya dekat dengan kekuasaan. Padahal mestinya yang penting adalah siapa yang mempunyai basis.
7.    Terimakasih.
Blog EntriAug 23, '09 8:55 PM
untuk semuanya
Tahun Konsolidasi Hukum
Oleh PRIYONO B. SUMBOGO
Sumber: FORUM KEADILAN: No. 16, 09 AGUSTUS 2009
Mampukah demokrasi mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Atau­kah sebaliknya, demokrasi justru menimbulkan kegalauan?
Pertanyaan menarik tersebut diajukan oleh M. Masad Masrur, Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia, dalam sebuah tulisannya. Secara tersirat, Masad sebe­narnya sudah menjawab sendiri pertanyaan­nya dengan menguraikan sejarah demokrasi di Indonesia.
Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan partai mayoritas Partai Nasional Indonesia (PNI, 57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nandlat­ul Ulama (NU, 45 kursi), Partai Komunis Indonesia (PKI, 39 kursi) dan 37 kursi lainnya dibagi bebe­rapa partai kecil. Partai-partai ini juga sangat ideologis, sehingga persaingan partai bukan hanya untuk mempere­butkan kekuasaan, melainkan juga persaingan ideologi. Di satu sisi, PKI ingin mendirikan negara komunis, kelompok nasionalis ingin membangun negara sekuler, dan kelompok Islam ingin menggelar negara Islam.
Fragmentasi politik yang kuat pada saat itu mengaki­batkan kemelut politik berlarut-larut. Pergantian kabinet terjadai dalam hitungan bulan, karena dosodok oposisi. Bung Hatta, Wakil Presiden saat itu, kecewa luar biasa. Ia menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengede­pankan kepentingan rakyat.
Presiden Soekarno juga mengecam praktik Demokrasi Li­beral dan menawarkan Demokrasi Terpimpin (Guided De­mocracy). Namun, Demokrasi Terpimpin diselewengkan un­tuk mengesahkan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup.
Bung Karno akhirnya jatuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkan unsur PKI. Perebut­an kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncullah kekuasaan Orde Baru yang cenderung otoriter di bawah Soeharto.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Presiden Soeharto tergerus dan jatuh dalam krisis. Gerakan Refor­masi yang dimotori mahasiswa, berhasil menumbangkan Orde Baru dan melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat.
Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi ber­saing untuk mendapatkan pengaruh politik. Mereka me­ngaku-ngaku sebagai reformis, walau tidak turut berdemons­trasi ke gedung DPR/MPR. Bahkan para pendukung Orde Baru pun memetik keuntungan dengan mendirikan partai baru seraya mengaku reformis tulen.
Selanjutnya, semenjak BJ. Habibie menja­di presiden, menggantikan Soeharto, arsitek­tur demokrasi Indonesia berubah total. Seper­ti ditulis oleh Masad, Indonesia memasuki masa kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, dan pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis.
Tetapi di lain pihak, transisi demokrasi juga mengembalikan Indonesia ke dalam situasi
yang dicemaskan Hatta. Bahwa para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat.
Partai politik kembali berperilaku sebagai panglima yang ingin menundukkan lembaga-lembaga lain, terutama lem­baga yudikatif. Padahal, sebagaimana diutarakan oleh para pengamat politik seperti Dr. Rothman Ahwan dari FISIP UI, demokrasi barns tunduk pada rule of law. Supremasi hukum harus menjadi panglima dalam penyelenggaraan negara.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 yang membatalkan pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15/2009 yang antara lain mengatur tata cara penetapan perolehan kursi anggota legislatif, harus dilaksanakan.
Ancaman memang sudah terdengar dari sejumlah kader partai yang merasa dirugikan. Tetapi tahun 2009 perlu dijadikan tonggak konsolidasi demokrasi, dengan meman­tapkan fungsi lembaga hukum. Bila pelaksanaan putusan MA memang menimbulkan kerusuhan sosial karena pro­vokasi dari kader partai, maka polisi berhak menindak mereka dengan tegas. Jika perlu tembak di tempat. Sebab, provokasi politik yang mengakibatkan kerusuhan adalah teror. Provokasi bukan hanya meresahkan, melainkan juga mengganggu kegiatan lain, terutama kegiatan ekonomi. Dan provokasi yang menimbulkan benturan di masyarakat, adalah teror yang lebih dahsyat dari teror bom bunuh diri.
Tuduhan bahwa MA mengambil putusan yang dapat menimbulkan gelombang kekacauan, jelas salah alamat. Sebab, lahirnya putusan MA justru karena ada produk undang-undang yang multi-tafsir, khususnya pasal tentang tata cara pembagian kursi legislatif. Undang-undang adalah produk DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai politik. Oleh Sebab itu, pihak pertama yang pantas disalahkan bila terjadi kerusuhan, adalah partai politik yang memiliki wakil rakyat pada periode 2004-2009.*

Blog EntriJul 15, '09 1:52 AM
untuk semuanya
Pemilu Iran 2009

Oleh Haerullah
Pada 12 Juni 2009, rakyat Iran berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara, memilih calon pemimpin mereka yang baru. Namun, pelaksanaan pemilu yang damai itu, ternyata tidak dibarengi dengan kedamaian pasca pemilu. Alih-alih, Iran justru terjebak pada konflik antar pendukung yang belum selesai hingga sekarang.
Sebenarnya, banyak kalangan menilai bahwa pelaksanaan Pemilu di Iran kali ini sudah baik. Menurut Direktur Eksekutif Centre for Dialogue of Cooperation among Civilization Ahmad Mu'ti, di Jakarta[1], terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad menjadi Presiden Iran setelah memenangkan pemilihan tersebut menjadi contoh yang baik bagi sebuah demokrasi. Menurutnya, kemenangan Presiden incumben Ahmadinejad dalam pemilu dengan perolehan suara 63% berkat dukungan dari sebagian besar warga miskin dan kaum konservatif Iran. Kalau kemenangan Ahmadinejad masih menuai protes melalui aksi demo dari pihak lawannya, itu hal yang wajar. Mier Hossein Mousavi, kandidat yang memprotes hasil pemilu adalah mantan perdana menteri moderat yang dikenal pro Barat.
Ahmadinejad sebelumnya memang terkenal sebagai pemimpin yang populer di mata rakyat. Terpilihnya ia pada pemilu sebelumnya, disambut gembira dan optimis oleh kalangan pengamat dunia, karena paling tidak ia ‘berhasil’ memutus dominasi kaum mullah (ulama) Iran di jagad politik Iran. Kemenangan Ahmadinejad saat itu bahkan nyaris tanpa biaya, hanya beberapa pamflet sablon yang menjadi iklan kampanyenya saat itu. Selama memimpin Iran sampai pada pemilu 12 Juni 2009 ini, ia juga tercatat cukup ‘berwibawa’ dimata dunia. Lepas dari berbagai kekurangannya dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan rakyat, kemenangannya pada pemilu 2009 lalu banyak didukung oleh warga miskin yang memang menginginkannya tetap menjadi presiden. Kemenangan tersebut juga berarti bahwa kaum konservatif anti-Barat masih mendapatkan tempat dan dukungan besar dari warga muslim.
Pada pemilu Iran kali ini, ada dua kubu besar yang saling bersaing memperebutkan kemenangan. Yaitu Ahmadinejad dari kubu al-muhafizin (konservatif) dan Mier Hossein Mousavi dari kubu al-islahiyin (reformis). Saat penghitungan telah mencapai 80% dari total suara yang sah, Presiden dari kubu al-muhafizin (konservatif) itu telah mengantongi 65% suara yang tidak mungkin terkejar oleh saingan terdekatnya Mier Hossein Mousavi dari kubu al-islahiyin (reformis) yang meraih hanya 32% suara. Sisa suara diraih oleh dua pesaing lainnya yang sebelumnya memang di luar persaingan, yakni Mohsen Rezai, mantan Kepala Garda Revolusi Iran, dan Mehdi Karoubi, mantan Ketua Parlemen Iran. Pengumuman resmi yang disampaikan Mendagri Iran, Sadiq Mahsouli, tidak terlalu jauh dari hasil penghitungan sementara. Ahmadinejad tetap unggul mutlak dengan meraih 62,6% suara pemilih, Mousavi meraih 33,75%. Pemilihan Presiden ke-10 ini merupakan terbesar yang diwarnai persaingan "panas" antara  dua kubu tersebut. Dari 46 juta penduduk Iran yang memiliki hak pilih, yang telah terdaftar dari sekitar 70 juta jiwa total penduduk negeri itu, sebanyak 39 juta orang menggunakan hak pilih mereka (84,7%) sehingga angka ini sebagai rekor terbesar dalam sejarah pilpres di negeri Persia itu sejak revolusi Islam 1979.
Intinya, hasil pilpres tersebut tidak ada yang mengejutkan sebagaimana dugaan para pengamat sebelumnya yang menjagokan kelompok reformis yang diharapkan bisa beradaptasi dengan kebijakan Barat, terutama AS dan lebih khusus lagi setelah orasi Presiden Barack Obama buat dunia Islam dari Kairo 4 Juni 2009 lalu. Protes pendukung Mousavi setelah pilpres justru merupakan kejutan, mengingat kubu ini mestinya lebih ‘reformis’ pula dalam menghadapi kekalahannya di pemilu ini.
Opini yang berkembang, setidaknya ada dua analisis yang berkembang seputar pemilu Iran. Pertama, mereka yang menganggap Ahmadinejad layak memenangi pemilu karena ada dukungan dari kalangan akar rumput, khususnya kalangan konservatif. Massa pendukungnya berkerumum membanjiri Teheran pada saat penghitungan suara. Ia adalah simbolisasi pemerintahan yang bersih, yang membedakan diri dari kubu reformis yang dituding telah melakukan korupsi. Kedua, mereka yang menganggap adanya kecurangan sistemik yang dilakukan oleh kubu Ahmadinejad. Faktanya, sejumlah wilayah yang dipastikan merupakan pemilih kubu reformis, justru dimenangi oleh kubu konservatif. Belum lagi dua jam setelah pemilu, pihak pelaksana pemilu mengumumkan 40 juta suara untuk pihak Ahmadinejad.[2]
Tentu hasil tersebut mengejutkan kubu reformis dan tercium adanya kecurangan oleh kubu lawan. Pihak reformis mengklaim punya data tandingan yang membuktikannya memenangkan pemilu. Kemudian, atas dasar inilah kubu reformis melakukan aksi protes di jalanan kota Teheran. Pemandangan tersebut menunjukkan kontestasi antara mereka yang mendukung kontinuitas kepemimpinan Ahmadinejad dan mereka yang menginginkan perubahan. Dua kubu, yaitu konservatif dan reformis, masing-masing memiliki pendukung yang relatif luas.
Terlepas dari sikap terakhir Dewan Penegak Konstitusi (DPK) Iran dan ketidakpuasan dari pendukung capres yang kalah, yang jelas yang tidak boleh dilupakan dari Pemilu di negeri Persia itu adalah keempat calon yang bersaing memiliki kesamaan landasan, yakni bertujuan memperkokoh kebangkitan Iran, mempertahankan kepentingan haknya mencapai penguasaan teknologi nuklir, bahkan hingga penguasaan teknologi senjata nuklir, meskipun berbeda dalam cara mewujudkan target tersebut. Keempat calon juga ingin mengembalikan wibawa dan peran Iran sebagai polisi di kawasan. Bedanya pada masa Syah Pahlevi, Iran pernah menjadi polisi di kawasan, namun untuk menjaga kepentingan AS dan Israel sebagai sekutu utamanya saat itu[3].
Pertarungan Elite
Politik di Iran, memang tidak pernah lepas dari peran mullah yang berperan kuat sejak Revolusi 1979. Sejumlah media Arab banyak menyebutkan, di Iran kini sedang terjadi pertarungan elit mullah yang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Pertarungan tersebut direpresentasikan antara pemimpin spiritual Ali Khamenei di satu pihak, dengan mantan presien Muhammad Khatami di pihak lain. Khamenei mengelus-elus Ahmadinejad yang dianggap anak manis untuk melanggengkan kekuasaan absolutnya. Adapun Rafsanjani dan Khatami berharap pada Mir Hossein Mousavi untuk melawan Khamenei. Kubu Rafsanjani dan Khatami menginginkan Iran lebih pragmatis dalam kebijakan ekonomi, hubungan internasional dan kehidupan politik dalam negeri.[4]
Pengawal (garda) revolusi Iran kemungkinan akan mengatasi persoalan pemilu ini. Namun, konflik pemilu ini akhirnya tetap menjadi catatan bahwa terdapat aspirasi besar dan ketidakpuasan terhadap sistem kelola kenegaraan dengan kekuasaan yang terlalu bertumpu pada pemimpin spiritual Ali Khamenei. Kekuatan dan kekompakan kubu konservatif pro-status quo yang berintikan dari pemimpin spiritual, para mullah konservatif, pengawal revolusi, dan dinas intelijen membuat manuver kubu pro-perubahan di Iran menjadi terbatas. Kekuatan kaum muda yang menjadi andalan kubu pro-perubahan di Iran harus berhadapan dengan pengawal revolusi dan dinas intelijen yang makin hegemonik pula. Akhirnya, pemilu di Iran memunculkan dilema setelah 30 tahun usia Revolusi Iran. Situasi dilematis itu akibat ketidakmampuan negara mengakomodasi aspirasi elemen-elemen penting masyarakat. Menurut pengamat Politik Mesir Gamal Abdel Gawad, kini lebih dari dua pertiga rakyat Iran tidak mengalami masa revolusi 1979. Komitmen mereka tidak kuat terhadap slogan-slogan yang dikumandangkan pada masa revolusi itu, karena mereka tidak mengalaminya. Dan pada pemilu ini, ada kelompok besar yang sangat berharap pada perubahan.[5]
Hanya saja, keinginan kubu pro-perubahan ini agaknya tidak bakal mudah terwujud. Permasalahan yang terjadi pada pemilu ini adalah ketidakpuasan kubu Mousavi. Seruan Mousavi terhadap penghitungan kembali kotak suara yang sudah dilaksanakan nampaknya juga belum memuaskan mereka. Sehingga banyak kalangan memunculkan kekhawatiran bahwa perpecahan elite lah yang sesungguhnya terjadi, dan kerusuhan yang makin dalam di Iran makin memperpuruk pada sikap keras yang tidak kunjung selesai.
Pandangan Internasional
Sejak hasil penghitungan suara pemilu pilpres Iran mulai menunjukkan tren ke arah kemenangan Ahmadinejad, media-media Barat sudah bersuara serempak, melaporkan kecurigaan adanya kecurangan. Dari AS, Wapres Joe Biden dan Menlu Hillary Clinton ikut mencurigai hasil pemilu Iran. Sementara Obama, yang sebelum pemilu terlanjur menyampaikan statemen ‘akan mengulurkan tangan persahabatan kepada Iran siapapun yang terpilih sebagai presiden’ mengeluarkan pernyataan empatik mengomentari berbagai kerusuhan yang terjadi di Iran, “Biarkan bangsa Iran menentukan sendiri siapa pemimpin mereka” dan “Bangsa Iran merasa dikhianati”. Dua hari setelah pemilu (14 Juni) Associated Press merilis berita “AS menolak klaim kemenangan Ahmadinejad” dan mengutip pernyataan Menlu Hillary yang menuduh adanya kecurangan dalam pemilu. Berdasar statemen Hillary, bantahan juga muncul, darimana Hillary tahu ada kecurangan? Padahal Obama mengatakan, “We weren’t on the ground, we did not have observers there, we did not have international observers on hand, so I can’t state definitively one way or another, what happened.” (Kami tidak di lokasi, kami tidak punya pengawas di sana, kami tidak punya pengawas internasional, jadi saya tidak bisa menyampaikan suatu pernyataan apapun mengenai apa yang terjadi di sana).
Sementara itu, dari Uni Eropa, keluar pernyataan, “Pemerintah Iran harus memperlakukan para demonstran dengan penuh penghormatan.” Dari Perancis, Sarkozy menyatakan, aksi protes pantas terjadi karena besarnya kecurangan. Menlu Prancis Bernard Kouchner menyatakan “perlunya dilakukan investigasi atas pemilu Iran”. Pernyataan kedua orang ini, Sarkozy dan Kouchner, seolah-oleh melupakan bahwa Pilpres Prancis Mei 2007, juga terjadi kerusuhan besar-besaran yang dilakukan kaum muda negeri itu memprotes terpilihnya Sarkozy. Saat itu, sekitar 700 mobil dan sejumlah gedung pemerintah yang dirusak demonstran. Namun apapun juga, yang jelas, para pemimpin dunia Barat dan media-media mainstream sedang mengumandangkan sebuah paduan suara yang berisi tuduhan kecurangan pemilu Iran dan mendukung aksi demonstrasi yang mereka sebut ‘sedang memperjuangan demokrasi’.
Hingga saat ini, ada beberapa fakta penting yang (sengaja) tak tercatat (dan tak dibahas) oleh media Barat[6]. Pertama, kerusuhan terjadi hanya di Teheran dan dilakukan oleh para pemuda, melakukan aksi-aksi anarkhis, merusak gedung-gedung. Aksi Anarkhis ini tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan oleh polisi. Di Prancis, saat terjadi demonstrasi yang memrotes Sarkozy, polisi Prancis menangkapi mereka. Bahkan penangkapan juga dilakukan dengan anarkhis pula. Kedua, para pendukung Ahmadinejad juga melakukan demo, dengan jumlah massa yang lebih besar (lebih dari 6000 orang). Orang yang pernah tinggal di Iran akan tahu, orang-orang Iran sangat ekspresif dan merdeka, mereka tidak dibayar untuk aksi tersebut. Ketiga, penghitungan dilakukan secara resmi oleh KPU, diawasi oleh saksi-saksi tiap kandidat, dan diliput televisi. Menyaksikan tren perolehan suara sementara Ahmdinejad yang terus naik secara konstan, Mousavi segera melakukan konferensi pers dan menuduh, “Hasil pemilihan umum presiden ke-10 sangat mengejutkan. Pernyataan Mousavi bisa diungkapkan dengan kalimat sederhana ini, “Loh, kok suaraku sedikit ya? Pasti ada kecurangan nih!” Mousavi juga sudah menyatakan dirinya meraih suara 54%.
Keempat, Media Barat mencitrakan Mousavi sebagai tokoh reformis. Dia menjanjikan keterbukaan hubungan dengan Barat. Paradigmanya, kerjasama politik-ekonomi dengan Barat akan memajukan perekonomian Iran. Dan karena itu pula Barat memihak Mousavi dan menyebutnya ‘reformis’. Kelima, di Iran tak ada lembaga survey ala LSI di Indonesia, yang bisa dimanfaatkan untuk menggalang suara. Kalau Mousavi mempunyai banyak dukungan, data dari peneliti Barat (yang didanai Rockefeller, dirilis oleh Washington Post) justru menunjukkan sebaliknya: di Provinsi Azerbaijan (kampung halaman Mousavi) pemilih Ahmadinejad dan Mousavi adalah dua banding satu. Survey tersebut juga menemukan, pendukung Mousavi adalah kalangan universitas dan kelompok ekonomi elit.
Penutup
Demikianlah catatan kecil mengenai pemilu di Iran Juni 2009. Dimana kita melihat bahwa dinamika politik yang terjadi tidak bisa lepas dari pengaruh kepemimpinan mulah di Iran. Hubungan antara kaum konservatif dan reformis yang terjadi, sebagaimana yang terjadi disana, sebetulnya lazim pula terjadi di negara-negara lain yang demokratis. Masalahnya adalah bahwa Iran adalah negara yang dominan di Timur Tengah, sehingga Barat dan Israel yang juga memiliki epentingan besar di Timur Tengah, merasa perlu ‘ikut campur’ dalam penentuan kepemimpinan di Iran. Bentuknya macam-macam. Misalnya adanya tuduhan CIA yang bermain pada pemilu Iran.
Sikap rakyat Iran yang lebih dewasa sangat diperlukan dalam mensikapi hasil pemilu. Iran adalah negara besar yang bisa menjadi penyeimbang kekuatan Israel dan Amerika, sehingga kerusuhan atas hasil pemilu yang tidak segera terselesaikan justru akan melemahkan wibawa Iran disana. Kedewasaan sikap ini bukan hanya harus dilakukan oleh kubu reformis pimpinan Mousavi yang terus saja melakukan aksi penolakan, tetapi juga kubu konservatif yang tidak perlu terlalu jumawa dengan kemenangannya kali ini. Karena, siapapun yang menang dalam pemilu, sebenarnya adalah kemenangan rakyat Iran juga, dimana mereka akan membangun kembali hubungan dengan Barat yang lebih baik daripada masa lalu.
Pidato Obama di Mesir yang memberikan harapan baru terhadap hubungan dengan Dunia Islam, mesti disambut baik. Jika pemilu Lebanon yang dimenangkan kubu pro-Barat atas Partai Hizbullah, kemungkinan hubungan dengan Dunia Islam oleh AS lebih bisa terjadi. Bukan berarti kemenangan kubu konservatif di Iran akan menghambat terbukanya dialog Dunia Islam dengan Barat. Kita lihat nanti, apa sikap Obama. Apa dia akan menepati janjinya dalam pidato Kairo atau tidak, mengingat yang menang adalah Ahmadinejad yang tak mau kompromi soal nuklir dan Israel. Wallahu’alam Bishawab.***


[1] http://bb.okezone.com/okezone pada Jum'at, 26 Juni 2009
[2] Zuhairi Musrawi, Hiruk-pikuk Demokrasi Iran, Kompas Jumat 19 Juni 2009.
[3] Musthafa Luthfi, Kemenangan Nejad justru memperkokoh dan memperkuat "bargaining position" (posisi tawar) Iran menghadapi Barat, Hidayatullah.com Kamis, 02 Juli 2009. 
[4] Pertarungan Antar-elite di Balik Kerusuhan Iran, Kompas Jumat, 19 Juni 2009.
[5] Iran Tidak Mengarah Ke revolusi, Kompas Jumat, 19 Juni 2009
[6] Di Balik Kekisruhan Pemilu Iran, Blog pada WordPress.com. diakses pada 1 Juli 2009
Blog EntriMay 13, '09 4:26 AM
untuk semuanya
Politik Penuntasan Kasus BLBI

Oleh Masad Masrur
Abstraksi
Secara intrinsik, “skandal BLBI” ialah kewajiban para pengusaha dalam statusnya sebagai obligor mengembalikan uang kepada negara dalam jumlah besar. Ini merupakan rentetan dari penyelamatan negara berhadapan dengan timbulnya rush secara besar-besaran terhadap perbankan nasional pada pertengahan tahun 1997. Penyelamatan oleh negara itu berada dalam kerangka lender of the last resort Bank Indonesia sebagai bank sentral demi menyanggah agar perbankan tak terhempas keruntuhan. Sementara, krisis moneter dan penutupan 16 bank (sesuai ketentuan Letter of Intent IMF) merupakan sebab paling fundamental terjadinya rush. Uang yang kemudian mutlak dikembalikan kepada negara berada dalam kisaran Rp.702,5 triliun. Ketidakberesan pengembalian uang negara inilah yang mencuat sebagai problema ekonomi politik selama kurang lebih satu dekade yang melibatkan tiga pilar demokrasi negara ini, parlemen, pemerintah dan istitusi hukum. Dari sinilah benar-benar bergulir persoalan “skandal BLBI”.
Latar Belakang
            Krisis ekonomi yang mengguncang perekonomian nasional tahun 1997 masih menyisakan banyak persoalan yang sebagian besar belum mampu diselesaikan hingga kini. Salah satu masalah serius yang belum terselesaikan hingga kini misalnya adalah ‘Kasus BLBI’ (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kasus ini mendapat sorotan karena pertama, menyangkut dana yang snagat besar, mencapai kisaran Rp 702,5 triliun, dan kedua, penerima dana BLBI adalah para konglomerat yang pasa masa Orde Baru menguasai perekonomian nasional dan memiliki rekam jejak yang buruk.
            Krisis ekonomi nasional pada tahun 1997 tersebut awalnya adalah imbas dari krisis mata uang Thailan, Baht. Setelah dialami oleh beberapa negara Asia lainnya, Indonesia adalah negara yang paling sulit bagkit dari krisis tersebut. Pada saat itu, bahkan hingga kini, pilar utama penyokong sektor keuangan Indonesia adalah perbankan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab krisis perbankan saat itu adalah, pertama, struktur modal korporasi Indonesia masih didominasi oleh kredit perbankan. Meski pada awalnya tekanan berat dialami oleh korporasi dengan struktur modal dari perbankan asing, namun dengan tidak kunjung membaiknya nilai rupiah terhadap dollar AS menyebabkan implikasi krusial terhadap perekonomian nasional. Peningkatan harga-harga kebutuhan pokok yang tinggi dan inflasi, sekitar 11,1% (year-on-year) tahun 1997 dan 1998 sebesar 77,6%[1] menyebabkan suku bunga harus dinaikkan sesuai dengan kecenderungan naiknya inflasi dan depresiasi rupiah terhadap dollar AS.[2]
            Kedua, terjadi krisis kepercayaan nasabah kepada perbankan akibat isu keterbatasan likuiditas yang dialami oleh perbankan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat ketakutan dan langsung menarik uangnya di bank. Meski tidak sepenuhnya ketakutan nasabah ini benar, memang terdapat beberapa bank yang benar-benar mengalami keterbatasan likuiditas yang akhirnya berimbas kepada struktur modal bank-bank tersebut. Berpijak pada realitas ini, pemerintah melalui Bank Indonesia membekukan kegiatan operasional 16 bank umum di Indonesia.[3]
            Pemerintah amat berkepentingan dengan restrukturisasi perbankan ini karena memang sektor ini adalah pilar utama sektor keuangan sekaligus sebagai salah satu bagian penting dari sistem keuangan negara. Dengan kata lain, kehancuran perbankan maka akan berimbas pada krisis yang lain, misalnya krisis politik. Oleh karena itu, jelas sudah latar belakang perlunya likuiditas bank perlu dikucurkan oleh Bank Indonesia kepada perbankan. Bantuan likuiditas ini berupa jaminan keseluruhan (blanket guarantee) oleh Bank Indonesia atas semua tipe utang yang dimiliki perbankan. Jaminan tersebut kemudian disebut BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang diumumkan pada Januari 1998. Pasca pengumuman BLBI ini, rush yang terjadi juga ikut turun.[4]
            Seiring dengan penurunan rush, secara berangsung-angsur keadaan perekonomian membaik dan nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar AS setelah Oktober 1998. Pada titik ini, peran BLBI sangat terasa dan penting karena ini merupakan istrumen yang mampu menjadi pengaman sementara dari kehancuran perbankan nasional dan perekonomian secara keseluruhan. Namun, disamping pengamanan sementara ini juga tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, mekanisme pengembalian bantuan likuiditas ini tidak ada skema yang jelas.  Maka kebermanfaatan BLBI ini menjadi tidak berimbang karena disinyalir justru banyak memberikan beban kepada negara. Selain itu, yang tidak dapat dimungkiri adalah realitas bantuan IMF yang mementingkan sehatnya sistem keuangan negara sehingga terjadi stabilitas moneter.
IMF mensyaratkan strukturisasi perbankan, yang didalamnya ada bantuan likuiditasnya, sehingga perbaikan kondisi moneter Indonesia dapat tercapai. Namun, bila dikaitkan dnegan ketiadaan skema pengembalian bantuan likuiditas oleh perbankan, resep IMF ini kemungkinan gagal amat besar. Pasalnya, kejadian yang sama juga dialami oleh beberapa negara lain. Disisi lain, memang diragukan pula kebijakan pemerintah yang meminta bantuan IMF meski ekonom domestik lebih memiliki pemahaman yang akurat mengenai perekonomian nasional.
           
Permasalahan
Bermula sejak era kekuasaan Presiden Soeharto, asal-usul masalah BLBI mencuat ke permukaan sejalan dengan pembentukan BPPN pada 1998. Secara kategoris, BPPN bekerja untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset pengusaha yang diambil alih pemerintah. Pada era Presiden BJ Habibie, terbentuk Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), melalui munculnya tiga model penyelesian.
Pertama, diterbitkan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang ditanda tangani oleh, antara lain, obligor Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad dengan nilai total Rp 89,9 trliun. Kedua, diterbitkan Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) yang ditanda tangani oleh, antara lain, obligor Usman Admadjaja (Rp 12,5 triliun), Kaharuddin Ongko (Rp 8,3 triliun), Ho Kiarto dan Ho Kianto (Rp 297,6 miliar). Ketiga, diterbitkan Akta Pengakuan Utang (APU).
Pada era kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, semakin kentara persoalan “kebijakan penyelesaian obligor BLBI”. Pada kurun waktu ini dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 sebagai pedoman kebijakan bagi pelaksanaan tugas BPPN. Di samping itu, lahir UU No. 25/2000 tentang Propenas yang di dalamnya termaktub pemberian insentif bagi obligor kooperatif dan pinalti bagi obligor non-kooperatif. APU ditandatangani oleh 30 obligor dengan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) sebesar Rp 15,2 triliun. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri terbit Kepres No. 8/2002 yang memberi jaminan kepastian hukum bagi obligor melalui terbitnya Surat Keterangan Lunas (SKL). Obligor penerima SKL dalam konteks ini mencakup, antara lain, Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad. SKL juga diberikan kepada 17 PKPS APU. Dari semua cerita ini tingkat pengembalian JKPS dalam konteks MSAA mencapai Rp 89,9 triliun, MRNIA Rp 23,8 triliun dan APU Rp 15,2 triliun. Dalam kerangka recovery rate, tingkat pengembalian PKPS mencapai Rp 27,1 triliun, MRNIA Rp 2,3 triliun dan APU Rp 5,5 triliun. Sekadar catatan, untuk JKPS saja yang mencapai Rp 128,9 triliun, nilai utang yang tak kembali mencapai Rp 94 triliun dan recovery rate sebesar Rp 34,9 triliun.
Apa yang kemudian penting digarisbawahi lebih lanjut adalah gemuruh skandal BLBI di pemerintahan, parlemen dan di kalangan pengamat ekonomi. Selama kurang lebih satu dekade berjalan, media massa tak pernah sepi dari pemberitaan di seputar tanggung jawab kalangan obligor ke arah penyelesaian kewajiban pengembalian uang kepada negara. Namun seperti juga tak dapat dielakkan, rezim kekuasaan terus-menerus digugat agar sepenuhnya mampu memaksa obligor menuntaskan kewajiban. Begitu seriusnya persoalan ini, obligor dan rezim-rezim kekuasaan pada akhirnya berdiri pada titik masalah yang sama-sama menuai sorotan publik. Bahkan, pemberitaan media massa berujung pada kesimpulan bahwa, obligor dan rezim yang tengah berkuasa dikesankan berselingkuh untuk secara bersama mendapat keuntungan. Bukan saja kemudian pergunjingan hadir sebagai sesuatu yang tak terelakkan, lebih dari itu politik penuntasan BLBI tercitrakan ke ruang publik sebagai tawar-menawar kepentingan.
Februari 2008 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar sidang paripurna interpelasi BLBI. Sepuluh pertanyaan DPR kepada Presiden mendasari sidang interpelasi itu. Presiden dalam konteks ini kehadirannya diwakili oleh Menko Perekonomian Boediono, Menko Polhukkam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Mensesneg Hatta Radjasa, Menkumham Andi Matalatta, Kapolri Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dari sidang interpelasi ini tersingkap obligor yang masuk dalam kategori non-kooperatif. Dalam kerangka MRNIA, obligor non-kooperatif mencakup S. Hartono (Bank Modern) serta Ho Kiarto dan Ho Kianto (Bank Hakindo). Sedangkan dalam kerangka APU, obligor non-kooperatif mencakup Santoso Sumali (Bank Metropolitan), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin P/Joseph Januardy (Bank Namura-Maduna), Santoso Sumali (Bank Bahari), Trijono Gondokusumo (Bank PSP), Henky Wijaya (Bank Tata), I Made Sudiarta/I Gde Dermawan (Bank Umum Aken) serta David Nusa Wijaya/Tarunodjojo (Bank Servitia).
Bank Indonesia pernah memberikan banyak fasilitas, antara lain berupa Surat Berharga Pasar Uang Khusus, fasilitas diskonto I, fasilitas diskonto II, fasilitas SBPUK, dana talangan rupiah dan sebagainya. Tercatat ada 48 bank yang menerima bantuan itu. Total jumlahnya sebesar Rp 144,536 triliun. Di sisi lain ada pula biaya untuk proses restrukturisasi perbankan yang menelan uang negara hingga sekitar Rp 650 triliun. Dana ini dikucurkan dalam bentuk obligasi dan surat utang. Sayangnya, setelah itu hampir seluruh konglomerat penerima dana BLBI kabur ke luar negeri dan pemerintah yang berkuasa kebingungan menyelesaikan kasus itu.
Menjelang dibubarkannya BPPN –lembaga yang bertugas menyelesaikan restrukturisasi perbankan termasuk pembayaran BLBI oleh para pemilik bank— badan itu lantas membuat terobosan. Antara lain dengan mengeluarkan release and discharge (R&D) alias surat keterangan lunas kepada konglomerat pemilik bank yang dianggap kooperatif. Ini terjadi pada 2003 di zaman Presiden Megawati. Menteri Ekuin dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, saat itu mengeluarkan R&D kepada para obligor. Ada 21 konglomerat yang kemudian mendapat surat lunas dari pemerintah. Di antaranya, Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, Bob Hasan dan Nirwan Bakrie. Belakangan soal R&D itulah yang menjadi masalah dan melengkapi persoalan BLBI lainnya, seperti kasus suap dari pejabat BI kepada anggota DPR yang dimaksudkan untuk tidak memperpanjang kasus BLBI yang melibatkan pejabat BI dan sebagainya.
Di luar persoalan hukum R&D, nilai utang yang dilunasi atau disepakati untuk dilunasi oleh para konglomerat sesungguhnya juga sudah jauh berkurang dibanding nilai awalnya. Pokok soalnya, ada selisih antara nilai utang yang ditanggung para konglomerat tadi dan nilai aset pada saat dijual. Indonesia Corruption Watch pernah menghitung, recovery rate aset yang diserahkan para konglomerat sebenarnya hanya sekitar 20% dari nilai aslinya. Ini terjadi akibat mark-up nilai aset dan kondisi pasar yang tidak kondusif selama krisis.[5]
Kasus BLBI makin rumit ketika KPK menangkap koordinator jaksa kasus BLBI, Urip Tri Gunawan karena menerima uang suap sebesar USD 600,000 (+ Rp. 6 miliar) tiga hari setelah Kejaksaan Agung menyatakan tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus BLBI. Ketua Tim Tiga Puluh Lima Jaksa yang ditugaskan untuk menuntaskan kasus BLBI di mana salah satu yang diduga melakukan tindak pidana adalah Syamsul Nursalim. Pernyataan terbuka dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, bahwa kasus BLBI dihentikan penyelidikannya pada 29 Februari 2008 oleh karena bukti perbuatan pidana tidak ditemui, langsung terungkap dengan tertangkap basahnya Urip Tri Gunawan hanya satu hari setelah pengumuman tersebut di rumah Sjamsul Nursalim.
BPPN kini sudah bubar, pejabat BI yang diduga terlibat sebagian sudah dijadikan tersangka, anggota DPR yang menerima suap juga sudah diperiksa, dan jaksa Urip Tri Gunawan juga sudah ditangkap. Jaksa Agung Hendarman Supandji bahkan pernah mengatakan bahwa kasus BLBI itu ibarat hutan yang penuh hantu. Nilai uang yang besar, banyaknya konglomerat dan pejabat yang terlibat, menjadikan kasus itu sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik.
Pembahasan
Kasus tunggakan BLBI hingga kini tak pernah beres sejak dibentuknya BPPN menjelang kejatuhan Soeharto. Berulang kali upaya menangani kasus ini selalu terhadang dan macet. Sejumlah oknum pejabat BPPN malah disangka korupsi atau suap. Kini dialami Urip Tri Gunawan. Secara resmi, para obligor BLBI dinilai telah merugikan negara sebesar Rp144,5 triliun.Tetapi mereka yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Adili Koruptor BLBI menyebut perkiraan kerugian negara mencapai sekitar Rp760 triliun, kurang dari Rp 3 triliun dari APBN 2007 yang besarnya Rp 763 triliun. BCA, sebelum di-take over, menikmati pinjaman sebesar Rp52,7 triliun, sementara BDNI menikmati Rp 27 triliun. Dengan dua pihak saja, tumpukan dana negara yang diduga diselewengkan telah mencapai Rp 79,7 triliun. Belum lagi dana yang dinikmati oleh kroni-kroni rezim Soeharto yang lain. Tampak jelas bagaimana bank-bank negara telah diubah begitu rupa oleh rezim Orde Baru sebagai “sapi perah”yang luar biasa.
Dapat dicatat bahwa kasus BLBI adalah kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah RI. Upaya menangani kasus itu pun selalu saja terhadang. Lebih dari sekadar penegakan hukum, kasus BLBI ini telah menjadi isu politik yang terus-menerus diusung oleh para elite politik. Pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya tetap didorong untuk menyelesaikannya, selalu saja tak pernah beres. Sebelum Urip Tri Gunawan ditangkap bersama Artalyta Suryani, DPR juga telah membawa kasus BLBI ke tingkat sidang interpelasi pada 12 Februari 2008.
DPR membagi kasus dalam beberapa kategori,yaitu BLBI telah merugikan negara Rp 144,5 triliun, obligasi rekap merugikan negara Rp 425,5 triliun, Surat Utang Negara Rp 73,8 triliun dan dana talangan Rp 49,5 triliun. Jalannya sidang interpelasi diwarnai “hujan” interupsi. Sebagian anggota DPR merasa tidak puas dengan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden mewakilkannya kepada para menterinya, yaitu Menko Perekonomian Boediono, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS untuk menanggapi DPR yang kecewa karena jawaban pemerintah tidak ditandatangani Presiden. Padahal, presiden yang diwakili oleh Menko Perekonomian Boediono, Menko Polhukkam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Mensesneg Hatta Radjasa, Menkumham Andi Matalatta, Kapolri Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, mampu menyingkap obligor yang masuk dalam kategori non-kooperatif. Sayangnya, fakta ini tak direspon DPR secara cerdas untuk mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan masih ada obligor dalam kategori non-kooperatif. Sidang interpelasi DPR malah ricuh oleh persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak cukup hanya menciptakan hujan interupsi, banyak anggota DPR yang mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke meja pimpinan sidang. Anggota DPR dari F-PKS, Suryama M. Sastra, malah mempelopori walk out sebagai tanda protes terhadap ketidakhadiran Presiden RI. Presiden terkesan dengan sengaja mengabaikan kesejajaran kedudukan konstitusional antara pemerintah dan DPR.
Kericuhan sidang BLBI dipahami sebagai pukulan balik bagi parlemen. Parlemen memperlihatkan diri sebagai pihak yang tercederai eksistesinya oleh ketidakhadiran presiden. DPR tampak lebih mementingkan teknikalitas ketimbang substansi.
Penuntasan skandal BLBI, sampai kapan pun, dideterminasi oleh sikap pemerintah. Pemerintah mengedepankan prinsip out of court settlement menurut skema PKPS, MSAA, MRNIA dan APU. Skema inilah yang lantas mengondisikan skandal BLBI bermetamorfosis menjadi tawar-menawar. Apa yang ditengarai sebagai “politik penuntasan BLBI” merupakan situasi yang memungkinkan rezim-rezim kekuasaan mendapatkan keuntungan dari bekerjanya prinsip out of court settlement. Penyelesaian skandal BLBI, pada akhirnya jauh dari kewajaran. Lima obligor dalam skema MSAA, misalnya, hanya membayar 17,3% hingga 55,7% dari total kewajiban yang harus ditunaikan. Obligor yang berutang Rp 52 triliun, ternyata hanya mengembalikan Rp 19 triliun. Obligor lain yang berutang Rp 28 triliun, hanya mengembalikan Rp 4,9 triliun.[6] DPR yang diliputi aura korupsi menangkap semua kenyataan ini sebagai persoalan yang berpeluang untuk dipelintir. Maka, sidang BLBI 12 Februari 2008 benar-benar dramatis. Editorial Harian Media Indonesia 13 Februari 2008, menyimpulkan semua ini sebagai “malapetaka interpelasi”.
Berdasarkan angka yang terungkap diatas, kasus BLBI memang telah menyebabkan keuangan negara sangat menderita. Kasus ini pula yang mengakibatkan krisis moneter yang berefek serius pada penderitaan rakyat seperti harga barang melambung, PHK marak, banyak perusahaan bangkrut, juga pengangguran dan kemiskinan yang meningkat drastis. BLBI memang “tumpukan uang” yang dinikmati para konglomerat yang dapat memengaruhi siapa saja yang berada dalam posisi lebih lemah. Godaan inilah yang meruntuhkan etik para jaksa pemeriksa kasus tersebut.
Urip Tri Gunawan adalah salah seorang jaksa yang tersandung godaan besarnya uang suap yang bisa dinikmatinya di hari tua. Penangkapan dan penahanan Urip Tri Gunawan saat ini membawa efek pada runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan. Apalagi Jampidsus Kemas Yahya Rahman yang telah mengumumkan penghentian penyidikan mendapat sorotan luas dari berbagai pihak. Dia mulai dituntut untuk mengajukan surat pengunduran diri. Bahkan, perintah pemeriksaan telah ditempuh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Hendarman memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo untuk memeriksa Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Jampidsus Muhammad Salim sehubungan tertangkap tangannya jaksa Urip Tri Gunawan.
Selain atas institusi kejaksaan, sorotan juga mengarah ke pemerintah. Salah seorang pengaju interpelasi kasus BLBI di DPR, Ade Daud Nasution, menilai pemerintah tak serius menuntaskan masalah yang sudah bergulir selama 10 tahun. Anggota Komisi III DPR Aulia Rahman menyatakan penangkapan Urip Tri Gunawan mencoreng muka pemerintah. Memang menjadi persoalan ketika kejaksaan mengumumkan tidak ada indikasi korupsi dan perbuatan melawan hukum, tapi Urip Tri Gunawan justru menerima suap dari pihak yang disidik. Apakah surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus BLBI ini tidak diketahui oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji?
Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan menyatakan, ada tiga pertanyaan aktual yang akan diajukan kepada Kejaksaan Agung terkait penanganan kasus BLBI dalam rapat kerja yang digelar, yaitu perihal penghentian penyelidikan, penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, dan peraturan disiplin kejaksaan. Pemerintah memang dihadapkan pada kritik sehubungan dengan pemberantasan korupsi sekaligus menggugat kemampuannya. Sementara Kejaksaan Agung dipersoalkan kemampuannya untuk membersihkan kejaksaan.
           
Kesimpulan
            Kasus BLBI yang melibatkan tiga pilar demokrasi, yaitu parlemen (lembaga legislatif), pemerintah (lembaga eksekutif) dan kejaksaan (lembaga yudikatif), memang merupakan permasalahan yang tidak mudah diselesaikan. Permasalahan ini sudah berkait berkelindang antar lembaga negara tersebut sehingga justru menjadi isu politik, alih-alih isu ekonomi dan korupsi yang menyengsarakan rakyat.
            Pertama, kebijakan BLBI ini sudah keliru sejak awal. Bank Indonesia tidak mampu mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Hal ini, merupakan ekses dari ketiadaan kelembagaan (aturan main/rules of the games) yang berakibat pula pada ketiadaan kontrol yang efektif dalam implementasinya, yang juga memunculkan potensi tindakan curang (moral hazard) pada para pelakunya. Perilaku curang ini bisa terjadi pada pihak perbankan maupun Bank Indonesia.[7]
Kedua, parlemen (DPR) tidak merespon secara cerdas untuk mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan masih ada obligor dalam kategori non-kooperatif. Sidang interpelasi DPR malah ricuh oleh persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak cukup hanya menciptakan hujan interupsi, banyak anggota DPR yang mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke meja pimpinan sidang tanpa membahas lebih lanjut dan hanya menjadikannya konsumsi politik belaka.
Ketiga, penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK itu semakin membenarkan persepsi masyarakat yang selalu menempatkan aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian, pada peringkat atas terkorup. Penggantian kepemimpinan kejaksaan pertengahan 2007 oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengganti Jaksa Agung, kinerja institusi yang dipimpinnya tak menunjukkan perbaikan. Ada banyak indikasi yang menunjukkan masih buruknya kinerja kejaksaan. Seberapa banyak dana yang berhasil diselamatkan untuk negara belum signifikan, tak transparan, dan akuntabilitasnya rendah. Kasus-kasus besar tak tuntas seperti bebasnya terdakwa korupsi dan pembalakan liar Adelin Lis dan tak jelasnya penyelesaian kasus mantan Presiden Soeharto. Penyelesaian hukum yang tak tuntas itu juga terlihat pada kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke anggota DPR dan dihentikannya penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).**

REFERENSI
Yustika, Ahmad Erani., Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empris, Pustaka Pelajar, Jogjakarta 2009.
Zulverdi, Doddy., Bank Portofolio Model and Monetary Policy in Indonesia, Journal of Asian Economic, 2007
Surat Kabar dan Internet
Harian Kompas, 23 Juli 2007.
Harian Republika, 13 Februari 2008.
Mingguan Tempo 5-11 Maret 2007
Waspada Online


[1] Harian Kompas, 23 Juli 2007.
[2] Mulai Oktober 1997, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia sudah berada diatas 10% dan puncaknya Mei 1998 sekitar 60%. Tentu saja, akibat pembengkakan ini, komposisi utang korporasi Indonesia menjadi membengkak beberapa kali lipat. Penurunan daya beli masyakat turut memperparah daya bayar korporasi-korporasi tersebut menurun, dan terjadilah kredit macet sampai yang dialami perbankan sampai berkisar Rp. 100 triliun-Rp. 300 triliun atau sekitas 25% dari tingkat kredit yang disalurkan oleh perbankan.
[3] Pada 1998, struktur modal bank menjadi negatif Rp. 98,5 triliun, bahkan 1999 modal perbankan negatif Rp. 244,6 triliun. Kejadian 1999 lebih dikarenakan masa pemulihan perbankan dan hal ini menggambarkan bahwa pemulihan krisis yang terjadi di perbankan membutuhkan waktu yang lama pula.
[4] Empat bank pemerintah (BUMN) mendapat likuiditas sebesar 636% dari total likuiditas sedangkan swasta diambil alih oleh Badan Penyelamatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan porsi 37%. Saat itu, ada 7 bank yang menjadi wilayah perbaikan BPPN dan sisa 0,3% diberikan kepada 26 bank daerah.
[5] Contoh aset Grup Salim lewat Holdiko Perkasa. BPPN hanya bisa menjual aset tersebut seharga Rp 16,2 triliun. Padahal, utang kelompok usaha Salim seluruhnya adalah Rp 52,7 triliun. Nyata benar bahwa kerugiannya sangatlah besar.
[6]  Harian Republika, 13 Februari 2008.
[7] Dalam pendekatan ekonomi politik, kebijakan BLBI ini secara substantif dapat dilihat dalam tiga level, pertama, persoalan perbankan tidak mesti diatasi dengan penyaluran likuiditas, apalagi teknisnya diberikan pada bank yang mempunyai potensi menyimpang. Kedua, akibat ketidakjelasan aturan main, maka potensi kecurangan (moral hazard) sangat besar. Ketiga, BPPN yang diserahi tugas mengurus pengembalian dana BLBI justru terperangkap dalam permainan obligor. Lihat, Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empris, Pustaka Pelajar, Jogjakarta 2009.
Blog EntriApr 23, '09 1:12 AM
untuk semuanya
WAWANCARA DENGAN DEPUTI BIDANG PEMBERDAYAAN PEMUDA
MENTERI NEGARA PEMUDA DAN OLAHRAGA SAKHYAN ASMARA
Tanggal 21 April 2009
Bagaimana menurut anda, menurut kacamata pemerintah tentang konflik yang terjadi di DPP KNPI.
Mereka bukan konflik saya rasa, KNPI nya tidak ada konflik. Cuma, komitmen untuk melaksanakan aturan saja yang berbeda pendapat dan menonjolkan kepentingannya. Kalau tidak ada (penonjolan kepentingan) ini, tidak ada konflik.
Yang konflik bukan KNPI-nya, bukan tubuh KNPI. Tetapi orang per orang. Hanya persaingan kandidat-kandidat ketuanya yang berbeda pendapat. Bukan organisasi KNPInya. KNPI nya tidak ada masalah, saya kira.
Apakah pemerintah juga ikut bertanggungjawab terhadap konflik di KNPI ini?
Itu bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi tanggungjawab kita semua. Termasuk tanggungjawab pemerintah. Agar roadmap pembangunan kepemudaan ini bisa berjalan dengan baik. Apa yang menjadi cita-cita, dalam rangka pembangunan kepemudaan ini bisa tercapai. Apa yang menjadi prioritas kepemudaan kita bisa kita raih. Yaitu dua prioritas pokok: penguatan nation and character building dan peningkatan kapasitas dan daya saing. Oleh karena itu kita berharap pemuda dapat memainkan peranannya dalam kerangka itu. Dua hal inilah yang menjadi sumber inispirasi prioritas kita dalam rangka mencapai cita cita kepemudaan kita. Inilah yang disebut pemuda maju. Jadi ada arsitektur pembangunan kepemudaan kita.
Dalam konsep pembangunan kepemudaan kita sekarang ini sudah mulai kongkret siapa pemuda kita. Kalau dulu masih abstrak siapa yang disebut pemuda. Karena selama ini, objek pembangunan kepemudaan selama ini kepada siapa. Terkadang bukan pemuda, bisa anak, bisa orang tua, karena tidak ada marjin yang jelas siapakah pemuda itu. Maka, sekarang ini kepemudaan itu kita upayakan masuk ke dalam domain hukum, maka sudah mulai jelaslah bahwa pemuda usianya 15-35 tahun. Inilah yang harus diolah. Makanya ada tiga pilar yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Yaitu pemberdayaan, pengembangan dan perlindungan. Ini pilar utama yang harus dilaksanakan agar pemuda maju.
Kemudian sasarannya kepada siapa. Sasaranya, adalah pemuda baik secara individu dari sabang sampai merauke, maupun secara berkelompok maupun yang berhimpun dalam organisasi-organisasi kepemudaan, maupaun lembaga swadaya masyarakat.
Banyak pemuda, dalam sejarahnya, KNPI adalah dibentuk dalam rangka sebagai bagian dari korporatisme negara. Pemuda akhirnya hanya berperan sebagai pengawal kebijakan-kebijakan pemerintah. Bagaimana saat ini?
Sekarang ini tidak ada. KNPI tidak dibentuk oleh pemerintah, tidak ada sejarahnya pemerintah membentuk KNPI. KNPI dibentuk oleh pemuda sendiri. Melalui sebuah deklarasi pemuda dan ditandatangani oleh pemuda sendiri. Jadi untuk membubarkan KNPI hanya oleh pemuda sendiri. Kalau pemuda menarik diri dari dukungan terhadap KNPI itu bisa bubar, oleh pemuda sendiri. Jadi tidaka da SK, tidak ada keputusan presiden itu dalam pembentukannya. Jadi tidak ada bentuk rekayasa pemerintah dalam pembentukan KNPI.
Maksud saya, bentuk korporatisme negara adalah menempatkan KNPI sebagai satu satunya wadah pemuda untuk berhimpun, sehingga KNPI masuk dalam GBHN dan menjadi kepanjangan tangan pemerintah. Jadi peran negara sangat besar untuk menumbuhkembangkan KNPI ini.
 Itu Undang-undang itu bukan hanya KNPI, ada HKTI dan organisasi lainnya. Tapi untuk yang KNPI itu bukan juga sebagai upaya pemerintah untuk mengkorporasinya sebagai suatu satu-satunya wadah. Tetapi itu hanya ingin melanjutkan apa yang dikehendaki pemuda, karena pemuda yang mengatakan bahwa KNPI itu sebagai satu-satunya wadah berhimpun. Kemudian undang-undang itu hanya mengatakan seperti KNPI, bukan pemerintah atau negara. Jadi pemerintah hanya menjalankan tugas saja. Karena tinggal enak, tinggal masukkan saja ke dalam GBHN.
Kemudian, dengan dijadikannya KNPI sebagai satu-satunya wadah berhimpun bagi pemuda, kemudian dijadikan sebagai batu loncatan pemuda pada kekuasaan dan pemuda/KNPI akhirnya terpolarisasi sebagai pragmatis (pro-pemeritah) dan idealis (menolak peran pemerintah). Apakah peran KNPI ini masih relevan saat ini?
Andaikata KNPI tidak bisa dijadikan batu loncatan pemuda, berarti pemerintah gagal dalam melakukan pembinaan organisasi kepemudaan. Sebag KNPI emmang sebagai laboratorium kader. Kalau ada kader KNPI yang kemudian menjadi menteri, itu adalah proses kaderisasi yang betul. Karena memang laboratorium kader.
Tapi ingat, kalau ada 100 kader KNPI belum tentu 10 orang yang jadi (pemimpin). Kalau KNPI dijadikan sebagai alat untuk batu loncatan (kepada kekuasaan), saya kira iya. Dan memang harus begitu. Kalau tidak, ngapain disebut sebagai laboratorium kader. Mereka digodog agar melahirkan orang-orang yang berbeda. Dan pada akhirnya ketika mereka sudah tamat dari situ kemudian mereka tampil sebagai pemimpin, bukan sebagai pengusaha. Kalau pengusaha ia bisa masuk HIPMI. Di KNPI ini memang digodog untuk menjadi pemimpin.
Ketika KNPI ini dikeluarkan dari GBHN, evaluasi yang terjadi di antara pemuda adalah, KNPI ini akhirnya menjadi lembaga yang harus dibubarkan. Sebab prakteknya hanya menjadi batu loncatan dan kepanjangan tangan pemerintah. Banyak pemuda yang idealis yang tidak menghendaki ini. Bagaimana?
Makanya, untuk menjadi yang hebat, ia tidak harus melalui KNPI. Kalau dulu memang hanya melalui KNPI, meskipun banyak juga yang tampil sebagai pemimpin tanpa melalui KNPI, bahkan lebih banyak. Tetapi ada kader-kader pemuda yang menjadi pemimpin melalui KNPI. Apa jeleknya?
Berarti kehadiran dan keberadaan KNPI ini sesuai dengan kepentingan pemerintah?
Kalau menurut saya, sesuai. Nggak ada yang salah. Orang-orang saja yang mengatakan bahwa organisasi ini plat merah. Karena apa, karena memang situasi dan kondisi memang memang begitu. Majelis Ulama saja begitu. Tidak ada alasan untuk tidak mendukung pemerintah, dan pemerintah itu memang harus didukung. Tetapi, KNPI sebagai laboratorium kader itu tidak bergeser perannya, baik sebelum reformasi maupun pasca reformasi.
Konflik (KNPI) ini hanya kecil, tidak berpengaruh terhadap keberadaan KNPi sebagai organisasi besar. Tidak emngancam. Apalagi dengan RUU Kepemudaan yang abru ini, kalau orang-orang tidak setuju (cocok) dengan keberadaan KNPI ini boleh membentuk organisasi yang baru. RUU ini memang masih proses, tapi sosialisasi pada pemuda dan mahasiswa yang dilakukan, pada dasarnya setuju.
KNPI memang satu-satunya wadah berhimpun, tetapi bukan lantas satu-satunya wadah yang menghasilkan pemimpin. HMI mislanya, mereka menolak KNPI tetapi kader-kadernya banyak yang menjadi pemimpin. Atau misalnya organisasi pemuda sayap partai yang tidak terhimpun di KNPI, mereka tetap berjalan dan menghasilkan pemimpin. Anehnya, meski mereka bisa mencetak pemimpin, banyak organisasi pemuda sayap partai yang justru berlomba-lomba bergabung juga ke KNPI. Aneh, kan.
Pemerintah tidak hanya memberikan bantuan dan sebagainya hanya melalui KNPI, banyak juga melalui OKP lainnya. Lagipula, kalau melalui KNPI kan jelas, soalnya KNPI adalah tempat berhimpunnya OKP-OKP. Jadi itu sebenarnya lebih strategis, dan tidak terpecah dalam melaksanakan pembangunan kepemudaan. Kalau misalnya mengadakan latihan kepemimnpinan, pesertanya ada dari OKP-OKP, yang dari KNPi hanya beberapa. Sebab sumber pemuda ini ada di OKP-OKP.
Kira-kira, akan seperti apa KNPI sekarang ini, karena faktanya masih ada KNPI tandingan?
(Konflik KNPI) ini selesai. Dan jalan sendiri. Jadi begini, adanya negara itu karenaada rakyat, ada wilayah, adanya pemerintahan, adanya pengakuan. Sekarang ini, siapa yang punya anggota, punya wilayah, punya kepengurusan yang definitif dan betul, dan siapa yang mendapat pengakuan. Itu saja, kalau tanpa keempat ini tidak mungkin eksistensinya ada. Jadi kayak negara. Bukan soal pengadilan atau apa. Bukan siapa yang menentukan eksistensi KNPI ini tetap pemuda. Buat apa kita membuat istana di padang pasir, tanpa istana, tanpa rakyat. Itulah dibutuhkan kejelian orang melihat.
Kalau melihat secara umum, banyak sekali kader politisi muda yang muncul, sementara kasus yang terjadi di Indonesia adalah minimnya para kader muda ekonomi, atau kader sosial pemuda. Apakah ini juga merupakan sebuah kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya?
Sebenarnya itu malapetaka buat kita. Sebab, kalau kita itu sudah berorientasi pada jalan pintas, dan menerabas, karena sukses di politik ini seolah mencapai sukses dengan cara cepat dan tampil instan. Maka, pemerintah dalam melakukan konsep pembangunan ini bukan pada katagori politik, tapi kategori sosial ekonomi dan moral. Sebab jangan-jangan yang salah dari pembangunan kepemudaan kita dulu adalah ini. Makanya kita harus bisa membentuk pemuda yang berkarakter.**
Blog EntriApr 23, '09 1:01 AM
untuk semuanya
WAWANCARA DENGAN KETUA DPP KNPI 2008-2011
AHMAD DOLI KURNIA
Jakarta, 24 Maret 2009
Apa yang melatarbelakangi anda sehingga maju menjadi Ketua DPP KNPI pada periode 2008-2011 dan 2005-2008? Apa visi dan misi anda?
Pertama, memang saat itu saya berada di jalur pengurus DPP KNPI. Saya melihat banyak pekerjaan kepemudaan yang harus dikerjakan, sehingga saya harus terus mengabdi dan berperan lebih nyata di masyarakat. Saya kemarin pada tahun 2002-2005, masuk menjadi pengurus DPP KNPI. Pada saat kongres mendorong saya untuk mencalonkan diri sebagai ketua DPP KNPI. Termasuk Hasanuddin Yusuf, juga mendorong saya untuk mencalonkan diri. Dan waktu terbentuk kepengurusan, saat Hasanuddin Yusuf terpilih, saya juga masuk dalam struktur di DPP KNPI. Pada saat kongres berikutnya, saya juga didorong untuk masuk sebagai calon ketua DPP.
Saya menginginkan bahwa, saya ingin mengembalikan KNPI memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa dan negara kita. KNPI itu adalah wadah berhimpun dari OKP-OKP di Indonesia, yang sekarang terdiri dari 79 OKP. Dan ini adalah potensi yang besar, karena ada OKP agama, OKP mahasiswa, OKP kekaryaan dan sebagainya. Ini adalah potensi yang harus diramu dalam KNPI.
Saya mempunyai keinginan bahwa semua potensi OKP ini dikonsolidasikan, untuk agar [1] indonesia ini mempunyai masalah dengan lemahnya kohesifitas bangsa, dan di KNPI ini, selama ini yang dimunculkan adalah soal nasionalismenya. Jadi kalau mau bicara tentang bagaimana memperbaiki rasa dan semangat nasionalisme ke depan, harus dimulai dari KNPInya dan bicara tentang KNPI nya. [2] pemuda harus punya visi, punya ketrampilam, punya leadership. KNPI selama ini punya mekanisme, (ia) punya negara, seolah-olah KNPI adalah bagian dari proses rekrutmen kaderisasi kepemimpinan nasional. Pasca reformasi, KNPI mengalami kegamangan, karena selama ini sangat bergantung dengan Undang-Undang dari negara. Maka kemudian proses rekruitmen ini harus ditata ulang.
Saya melihat, bahwa selama ini keberadaan OKP-OKP ini menghasilkan kader. Jadi kalau mereka masuk ke KNPI itu, mestinya mereka masuk sebagai kader dan keluar sebagai leader. Oleh karena itu, saya punya visi bahwa KNPI itu mampu mencetak kader-kader yang punya karakter kepemimpinan, komitmen kebangsaan, punya visi tentang kepemudaan dan mestinya memiliki ketrampilan khusus untuk membangun kepemudaan itu.
Menurut anda, seberapa besar keberhasilan visi dan misi serta program kerja yang akan anda lakukan selaku ketua DPP KNPI periode 2008-2011?
Pelaksanaan visi-misi itu kemudian memang memiliki renstrai, hambatan-hambatan, karena memang sekarang terjadi maslah, konflik di tubuh KNPI, yang sebetulnya menurut saya akhirnya ini adalah bagian dari proses pendewasaan. Kalau kita melihat dari posisi yang positif, ini adalah bagian dari proses pendewasaan atau rekonstruksi ulang keberadaan KNPI, yang selama ini menjadi bagian dari negara, kemudian menjadi organisasi yang independen.
Bayangan saya, kalau konflik ini terselesaikan dengan bagi, maka kemudian ini menjadi titik-balik kebangkitan KNPI. Mungkin pada saat di ujung Orde Baru memasuki reformasi, ia berada di titik nadhir yang dibawah. Ini menjadi fase yang kedua, karena dulu pada saat masuk reformasi, orang menginginkan KNPI ini dibubarkan, tapi faktanya tidak bisa, karena infrastruktur KNPI ini cukup kuat sampai ke tingkat kecamatan. Dia sudah berada di back-mind nya masyarakat bahwa KNPI adalah organisasi pemuda yang selama ini punya aktifitas dan berinteraksi dengan masyarakat. Kalau ada sekelompok pemuda yang menginginkan pembubaran KNPI, ini tidak kuat karena memang KNPI sudah berada di masyarakat. Problemnya apakah, keberadaan ia dengan ketidak beradaannya memiliki perbedaan pendekatan atau nilai tambah.
Sekarang konflik ini, adalah fase kedua untuk menentukan bahwa KNPI harus berubah, tidak lagi bisa mengikuti pola-pola lama. Sehingga itu menjawab kepada orang-orang yang menginginkan KNPI itu bubar. Jadi ini adalah proses yang menentukan. Kalau kita gagal dalam menyelesaikan konflik ini, inilah akhir keberadaan KNPI. Tapi kalau berhasil, ini akan menjadi titik balik kebangkitan KNPI.
Gagal adalah konflik ini berlangsung terus dan tidak selesai, dan terpecahnya pemuda itu tidak terselesaikan. Kita sekarang sedang melakukan proses hukum, proses politik, sebetulnya konflik ini sangat terkait dengan momentum politik 2009. Kalau dalam momentum-momentum ini tidak selesai, artinya dalam jangka waktu yang panjang, KNPI itu terbelah dua, maka secara otomatis keberadaan KNPI itu sudah harus tidak ada. Karena KNPi adalah wadah berhimpun OKP, wadah ini harus cuma satu, kalau wadah berhimpun ini ada dua kehilangan esensi. Makanya bubarkan saja.
Mengapa masih ada ketertarikan pemuda terhadap KNPI pada saat lembaga ini sudah mulai memudar perannya?
Berbicara peran ini mestinya ada indikator-indikator. Kalau dulu berperan karena ia adalah bagian dari negara, negara terpublikasi oleh masyarakat, maka kemudian KNPI terpublikasi karena berada dalam tubuh negara. Dan indikatornya adalah indikator struktural. Mantan-mantan ketua KNPI itu, baik yang ditingkat pusat maupun daerah, mendapat tempat dalam struktur negara. Sekarang tidak ada lagi.
Sekarang ada dua pandangan atau aliran menurut saya. Sekarang banyak sekali aktivis-aktivis dan mantan aktivis mahasiswa yang masuk ke KNPI, melihat bahwa tadinya KNPI adalah bagian dari negara yang tidak perlu kita bela dan ikut di dalamnya, tapi faktanya ketika masuk reformasi dan ada tuntutan pembubarannya,KNPI tidak bisa bubar. Karena KNPI sudah mendapat tempat sendiri. Bagi kita yang menjadi aktivis mahasiswa melihat bahwa ini sebetulnya bisa dijadikan alat perjuangan pemuda, tinggal problemnya value nya yang tinggal kita perkuat. Dulu value ditentukan oleh negara, sekarang mestinya value itu ditentukan oleh pemuda sendiri. Itu sebagian aliran yanglahir dan tumbuh dari aktivis mahasiswa.
Ada juga (aliran) yang lainnya yang memakai pola lama. Ia juga tetap memaksa bahwa KNPI adalah batu loncatan untuk masuk dalam struktur kekasaaan negara.  Ini juga yang menjadi embrio konflik kita sekarang ini.
Sebetulnya kita juga tidak berfikiran, kita yang berada disitu, seperti saya mislanya, waktu saya menjadi aktivis mahasiswa melihat KNPI ini adalah sesuatu yang “untuk apa kita masuk didalamnya” kita akan terkooptasi oleh negara. Tapi pada saat reformasi, saya diajak Idrus Marham saat itu, saya tahu ia adalah aktivis juga, berdiskusi menyusun konsep KNPI dan kepemudaan dan dia melibatkan teman-teman terutama kelompok Cipayung dan emndapat respon positif. Penyusunan konsep, dialog dan sebagainya ini, yang membuat tertariknya teman-teman aktivis sehingga masuk KNPI. Ketika kita berada disitu, kita mengikuti saja perkembangan disitu secara liniar. Ada kesempatan untuk mengembangkan fikiran dan ide kita melalui kongres, kesempatan menjadi pimpinan dan sebagainya.
Namun di satu sisi, ada juga sekelompok pemikiran, yang semacam Azis Syamsuddin ini yang tak pernah mempunyai track-record sebagai aktivis mahasiswa, tak punya track-record dalam dunia kepemudaan, ia melihat bahwa KNPI sekarang masuk dalam momentum politik 2009. Dia mungkin hanya membaca separoh sejarah KNPI. Ia hanya mendapat bahwa selama ini value nya harus ditentukan oleh negara, maka ia berfikir ketika ia hendak mendapatkan kekusaan dalam tubuh negara, ia menggunakan KNPI sebagai kendaraan.
Sejak dahulu, aktivis KNPI adalah aktivis partai politik juga, dalam hal ini Golkar. Di era reformasi malah lebih beragam lagi latar belakang partai mereka. Banyak juga OKP sayap partai yang masuk KNPI. Artinya sebagai aktivis partai, KNPI lazim memiliki aktivis yang berpartai. Mengapa terbentuknya Partai Pemuda Indonesia yang diprakarsai oleh Hasanuddin Yusuf merupakan penyebab utama konflik DPP KNPI? Bukankah keterlibatan aktivis partai di KNPI ini sebenarnya lazim saja.
Paska reformasi orang tidak bisa lagi mengklaim bahwa KNPI adalah dibawah koordinasi sebuah partai tertentu (Golkar). Sebelum Hasnuddin sendiri adalah aktivis PDI-P. Dalam sejarahnya, Hasanuddin adalah ketua KNPI yang tidak Golkar.
Saya ingin menceritakan sejak awal tentang konflik ini. Sebetulnya penyebab utamanya, aktor utamanya adalah Adhyaksa Dault. Dia masih berfikir tentang pola lama dalam membina KNPI. Adhyaksa ini terlalu berambisi politik. Ia tidak mau tersaingi dalam ikon kepemudaan. Tidak ada satu ketua KNPI pun setelah dia menjabat tahun 1999-2002, yang tidak diganggunya. Termasuk Idrus Marham dia ganggu, saya merasakan betul persaingan antara Idrus Marham dan Adhyaksa Dault, walaupun saat itu ketua umum KNPI sudah Idrus Marham.
Kemudian masa Hasanuddin Yusuf. Kita baru tahu belakangan bahwa yang mendorong terbentuknya Partai Pemuda Indonesia itu adalah Adhyaksa Dault. Hasanuddin Yusuf pada saat merayakan ulang tahun KNPI tahun 2006, ada pembicaraan dengan Adhyaksa Dault untuk mendirikan Partai Pemuda Indonesia yang akhirnya disimpulkan memang untuk kepentingan Adhyaksa. Dia pernah beberapa kali mengemukakan dalam forum bahwa dirinya ingin menjadi wakil presiden tahun 2009 ini. Tapi, mungkin di tengah terjadi ‘miskomunikasi’ antara kedua orang ini. Jadi sebetulnya konflik ini adalah masalah pribadi antara Hasanuddin Yusuf dengan Adhyaksa Dault yang kemudian tune-in antara problem pribadi antara Hasanuddin Yusuf dengan Hans Silalahi dan teman-teman di FKPPI.  Maka kemudian beberapa orang yang memiliki masalah pribadi dengan Hasanuddin ini bergabung: Hans Silalahi dan teman-teman FKPPI dan Adhyaksa Dault. Disitulah kemudian dipaksakan Hasanudin ini untuk dijatuhkan di MPP. Padahal MPP tidak memiliki aturan kewenangan untuk menjatuhkan ketua umum.
Memang mungkin, ketidaksukaan pribadi-pribadi ini beririsan dengan reaksi dari pengurus DPP KNPI yang melihat kinerja Hasanuddin Yusuf ini kurang baik. (Dan kinerja yang kurang baik) ini memang kita akui. Tapi kinerja seorang ketua umum ini tidak bisa dievaluasi dan kemudian diambil penilaian dan kemudiandieskekusi dalam forum MPP.
Bagaimana kejadian masalah miskomunikasi antara Hasanuddin dengan Adhyaksa ini? Ada isu yang menyebutkan bahwa perpecahan KNPI juga berawal dari konflik kepentingan yang ada di tubuh FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan)? Perpecahan itu awalnya terjadi di FKPPI antara Hans Silalahi dan Hasanuddin Yusuf. Bagaimana penjelasan anda?
Hasanuddin ini merasa memiliki previlege sendiri dan tidak mau diatur (oleh Adhyaksa). Mungkin ini yang membuat Adyaksa kesel. Dia usulkan membuat Partai Pemuda Indonesia, tapi ini diambil oleh Hasanuddin Yusuf sebagai ketua umumnya, dan KNPI ini tidak bisa diatur-atur oleh Adhyaksa.
Hasanuddin pasti punya agenda tersendiri juga. Ini mungkin yang membuat Adhyaksa kesal dan harus menjatuhkan Hasanuddin Yusuf dari KNPI. Adyaksa merasa bahwa dia harus memegang KNPI juga agar ia dapat mewujudkan ambisinya. Nah, kemudian ini nyambung dengan Hans Silalahi dan teman-temannya (FKPPI) yang mempunyai masalah tersendiri dengan Hasanuddin Yusuf. Hasanuddin dianggap tidak komit lagi dengan FKPPI, sementara dulu FKPPI-lah yang mendorong ia supaya maju sebagai ketua KNPI. Tapi, konon juga ada masalah antara Hans Silalahi dan Hasanuddin Yusuf yang mengimbas ke FKPPI.
Yang kami sayangkan sebenarnya adalah, mengapa masalah-masalah pribadi ini dibawa ke organisasi sehingga merusak organisasi dengan menjatuhkan Hasanuddin dari KNPI di forum yang sebetulnya tidak memiliki kekuasaan untuk menjatuhkannya (MPP). Termasuk kasus pribadi Hasanuddin (pelecehan seksual) ini dieksploitir menjadi masalah publik, dan menjadi alasan untuk menjatuhkan Hasanuddin.
Pasca MPP, ada komitmen antara dua kubu untuk tidak menyelenggarakan kongres yang berbeda. Bagaimana kedua kongres itu masing-masing tetap berlangsung?
Kongres itu benar jika aturan-aturan organisasi menuju kongres itu terpenuhi. Kongres itu harus dilaksanakan oleh DPP KNPI dan menjadi tanggungjawab ketua umum hasil kongres sebelumnya. Sehingga disitulah ketua umum melakukan pertanggungjawaban. Bukan di forum yang lebih rendah dari itu, yaitu MPP.
Kongres diadakan di Ancol karena memang di Bali tidak dimungkinkan, karena DPD KNPI bali tidak bersedia melangsungkan kongres itu. Tetapi, masalah tempat kongres ini mestinya tidak menjadi ganjalan dalam pelaksanaan kongres meski pelaksanaannya memang diamanatkan di Bali. Bali malah diamanatkan oleh tiga kongres terakhir untuk menjadi tuan rumah kongres berikutnya, tetapi pelaksanaannya berlangsung di luar bali, dan ini tidak ada masalah. Jadi temptak kongres Ancol bukan menjadi masalah sepanjang aturan organisasi menuju kongres ini sudah terpenuhi.
Apakah pertemuan di Bandung pada Februari 2009 lalu tidak cukup menjadi legitimasi untuk menyatakan bahwa DPP KNPI telah melakukan islah?
Pertemuan di Bandung itu hanya sebuah pertemuan silaturahmi yang sebetulnya juga tidak lazim dilakukan oleh DPP KNPI selama ini. Sebelumnya saya sudah mengatakan bahwa kalau peretemuan ini dieksploitir seperti kongres yang luar biasa, saya meninggalkan tempat ini. Ini memang merupakan rekayasa Adhyaksa dan Azis agar nampak seperti Kongres Luar Biasa. Sebetulnya peling tidak ada tiga kesalahan yang dilakukan oleh Adyaksa dan Azis dalam pertemuan di Bandung itu, atau dalam konflik ini. [1] Forum MPP dianggap sebagai forum pengambilan pertanggungjawaban ketua umum, padahal forum ini tidak melegitimasi sebuah pertanggungjawaban. Forum tersebut mestinya ada di kongres. [2] mereka melakukan pertemuan di Denpasar, Bali sebagai sebuah kongres, padahal sudah ditentukan bahwa kongres berlangsung di Ancol, Jakarta yang disitu dilakukan forum pertanggungjawaban ketua umum hasil kongres sebelumnya.[3] forum “silaturahmi” yang berlangsung di Bandung Februari 2009 lalu, dianggap seperti kongres luar biasa, dan merekayasa seolah sudah terjadi voting yang memenangkan Azis Syamsuddin sebagai ketua umum DPP KNPI. Saya kira pertemuan di bandung ini justru menurunkan posisi mereka sendiri. Mereka menjadi pengurus DPP KNPI hasil silaturahmi, bukan dari hasil kongresnya. Ini adalah kesalahan mereka.
Saya kira yang perlu dicatat dari semua kejadian ini adalah bahwa [1] KNPI adalah lembaga independen. Apalagi pada masa refromasi ini, lembaga ini mestinya jauh lebih independen dibanding pada era Orde Baru. [2] KNPI adalah lembaga yang terdiri dari OKP-OKP dan merekalah yang menentukan arah dan tujuannya, bukan oleh pemerintah.
Bisakah anda jelaskan mengenai “penyerbuan” di kantor DPP KNPI sehingga sampai saat ini kantor tersebut disegel oleh polisi?
Penyerbuan yang berlangsung di kantor KNPI merupakan penyerangan terhadap simbol pemuda. Ini terlihat bahwa pelaku-pelakuknya adalah orang-orang tidak mengerti organisasi secara benar. Meraka melegalkan kekerasan di kantor yang menjadi simbol pemuda se-Indonesia.
Saya melihat, dalam penyerangan ini justru terlihat kelemahan Azis dan kawan-kawannya. [1] Azis tidak memiliki pengalaman oorganisasi dan mengelola organisasi sehingga mensahkan aksi premanisme dalam menyelasaikan sebuah masalah. [2] penyerangan ini dilakukan atas dasar legitimasi dari pemerintah, seolah-olah pemerintahkah yang menentukan jalannya organisasi KNPI sehingga mereka merasa sah untuk melakukan aksi premanisme di kantor KNPI. [3] penyerangan ini sebetulnya sudah sering terjadi, ini yang keenam kali terjadi. Dan polisi ikut terlibat dalam aksi penyerangan ini. Azis Syamsuddin adalah anggota komisi III yang menggunakan polisi untuk melakukan penyerangan. Anehnya setelah satu setengah bulan kasus ini berlangsung, tidak ada tersangka sama sekali. Penyerangan ini berlangsung pukul 10 dan pukul 11 mereka sudah di Polres Jaksel dan semalaman mereka disitu. Ini membuktikan bahwa penyerangan ini sudah mereka rencanakan sebelumnya.
Saya pernah ditangkap oleh polisi atas perbuatan yang tidak menyenangkan pada 28-7 Januari 2009, polisi mengatakan bahwa ini adalah kasus titipan dari Azis Syamsudin.
Proses hukum yang akan terjadi bagaimana, dan kemungkinan apa yang akan terjadi di KNPI pasca kerusuhan ini?
Proses dialog yang dilakukan tidak berhasil. Kami membawa kasus konflik ini ke proses hukum, kalau terbukti kongres mana yang paling sah, maka harus ada keputusan untuk melebur KNPI pada kongres luar biasa. Atau kalau memang keputusan hukum sudah tidak dihargai, KNPI harus dibubarkan,karena memang tidak lagi memiliki esensi untuk pemuda. Pengadilan Negeri Jakarta selatan akan menggelar sidang yang pertama tanggal 30 Maret ini. *

Blog EntriApr 3, '09 7:24 AM
untuk semuanya
Negara dan Civil Society dalam Perspektif Yunani Kuno
Istilah civil society memiliki sejarah menarik. Sejak pertama kali muncul sebelum Masehi sampai sekarang, perdebatan seputar pemaknaan civil society, dan hubungannya dengan negara, tidak pernah selesai. Karena itu, untuk merunut pemaknaan civil society tidak bisa lepas dari perjalanan sejarahnya. Sama halnya dengan demokrasi, nasionalisme, negara bangsa dan istilah-istilah lain, istilah civil society lahir dari rahim peradaban Barat. Pemahaman negara dan civil society bisa dilihat dari awal berkembangnya hubungan keduanya di era Yunani kuno dan Romawi kuno dimana pemaknaan keduanya integrated dan belum terpisahkan seperti sekarang.
Negara Kota (Polis)
Persepsi negara modern saat ini dengan negara kota pada zaman Yunani kuno jelas sangat berbeda. Perbedaan ini antara lain karena dalam struktur negara-negara kota, tidak dikenal adanya perbedaan tegas antara masyarakat (society) dengan negara. Negara adalah masyarakat, dan sebaliknya, masyarakat adalah negara. Dari luas wilayah, struktur sosial, jumlah penduduk maupun lembaga-lembaga politiknya, negara-negara kota (polis) juga berbeda dengan negara modern saat ini. Luas wilayahnya sangat kecil, jumlah penduduknya sekitar tigapuluh ribu orang. Komunikasi politik tidak terlalu sukar dilakukan dengan jumlah penduduk seperti ini. Karena itulah sistem demokrasi langsung (direct democracy) bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu.
Kebanyakan, kota-kota di Yunani berada di lembah-lembah atau daerah bukit dan pegunungan tinggi. Tempat-tempat seperti ini dipilih untuk menjadi negara kota (polis), antara lain, karena dianggap strategis untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Daerah-daerah di pegunungan itu, seperti Acropolis, menjadi benteng pertahanan yang sukar ditembus, terbukti ketika negara-negara kota itu diserang oleh tentara Persia. Di negara-negara kota itulah orang-orang Yunani mengadakan berbagai kegiatan olahraga, kesenian, dan kegiatan-kegiatan pemerintah.
Salah satu kebiasaan orang-orang Yunani kuno adalah membicarakan berbagai persoalan hidup, termasuk masalah-masalah filsafat, politik dan negara. Hal itu desebabkan oleh beberapa faktor, pertama, negara mereka (polis) sering mengalami pertukaran-pertukaran pemerintahan dari monarkhi ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani dan dari tirani ke demokrasi. Peristiwa-peristiwa politik ini menimbulkan rangsangan-rangsangan terhadap pemikiran politik. Kedua, adanya kebebasan berbicara, bukan kekerasan senjata dalam kultur kehidupan mereka. Oleh karena itu, adu kekuatan argumentasi menyebabkan tumbuhnya daya nalar yang kritis. Ketiga, apa yang disebut negara disamakan dengan masyarakat dan sebalinya, masyarakat adalah negara. Karena itulah masalah kehidupan bersama menjadi masalah kenegaraan, dan masalah kenegaraan adalah masalah kehidupan bersama. Keempat, cara hidup orang-orang Yunani masa itu menuntut mereka untuk selalu memperhatikan dan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi secara bersama-sama.[1]
Pada sekitar 500 tahun sebelum masehi, atau zaman Pericles,[2] Athena adalah ibukota Yunani yang menjadi kota perdagangan. Proses pertukaran barang (barter) berlangsung intensif sehingga membuka peluang bagi terciptanya masyarakat perdagangan. Khusus pada zaman ini, Athena juga berkembang menjadi sebuah negara demokrasi. Masyarakatnya terdiri dari kelas warga negara, imigran asing, pedagang, dan budak yang diperoleh melalui perdagangan budak atau rampasan perang.[3] Warga negara sebagai elite politik dengan hak-hak istimewa serta waktu luang memiliki kesempatan luas terlibat dalam kegiatan politik negara kota. Status mereka begitu kokoh karena mereka menjadi bagian penting mekanisme kenegaraan. Warga negara yang telah mencapai usia 20 tahun diwajibkan menjadi anggota Dewan Ecclesia, suatu forum kenegaraan dimana kebijakan-kebijakan negara yang penting dirumuskan. Pericles berhasil membangun sistem pemerintahan demokratis yang dinamakan ”Athenian Democratia”. Demokrasi dalam perspektif Pericles ini memiliki beberapa kriteria: [1], pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuhdan langsung. [2], kesamaan di depan hukum, [3], pluralisme, penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan, [4], penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.[4]
Pada pemerintahan negara Athena itu, Pericles menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang terlihat dari sistem pemerintahannya yang dikuasai atau diperintah banyak orang (democracy), bukan yang dikuasi atau diperintah segelintir warga (olygarchi atau tyrani). Semua warga negara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam perumusan kebijakan negara. Pericles juga membangun rasa pengabdian kepada negara, kebanggaan diri (self of pride) dan rasa memiliki (self of belonging) warga negara terhadap Athena. Sehingga bagi warga negara, Athena merupakan pusat tata nilai, kebanggaan dan kehidupan mereka.
Negara Athena masa Pericles bersifat paternalistik personal dan memiliki sifat-sifat paguyuban. Tidak seperti negara-negara modern dimana sesama warga negara kurang memiliki hubungan batin yang kuat dan bersifat impersonal, di negara Athena hubungan antar sesama warga seperti hubungan antar anggota keluarga.
Namun, ketentraman peradaban Athena sebagai negara kota tidak berlangsung lama. Segera ketika kekuatan yang tidak diduga-duga datang menyerang, perang Pelopponesia tahun 431-404 SM segera menghancurkannya. Athena diserang oleh Sparta, sebuah negara yang saat itu tidak dianggap memiliki kemampuan beradab seperti Athena, sehingga hancurnya Athena ditangisi sepanjang masa oleh penduduknya.
Sparta adalah negara aristokrasi militer yang kuat. Di negara itu, semua penduduk tanpa kecuali diwajibkan mengikuti olahraga dan kemiliteran. Kewajiban latihan fisik rakyat Sparta menjadi manusia yang berdisiplin, kehidupannya teratur, memiliki ketaatan tinggi pada pimpinan negara dan selalu siap menghadapi peperangan. Sedangkan di Athena tidak memiliki program kemiliteran sekuat Sparta. Dengan demikian, rakyat Athena memang tidak siap dan kurang dipersiapkan untuk menghadapi peperangan setiap saat. Inilah letak kelemahan Athena atas Sparta saat itu.
Meski demikian, kekalahan Athena justru memiliki sisi positif. Athena menjadi pusat perkembangan ilmu dan pengetahuan justru sesudah kekalahan itu. Kekalahan itu tidak lantas mengikis habis pengaruh Athena di Yunani dan di seluruh peradaban kuno di sekitarnya, karena ternyata lambat laun Athena menjadi pusat pendidikan negara-negara sekitar Laut tengah sejak kekalahannya sampai abad-abad awal sesudah Masehi.
Polis dan Civil Society
Civil Society adalah produk sejarah Barat. Ia merupakan gejala sosial khas Barat sebagaimana halnya dengan fenomena atau konsep demokrasi, sekulerisme, sekularisasi, konsep citizenship dan sistem kepartaian.[5] Civil society merupakan produk sejarah masyarakat Barat[6] yang konsepnya tidaklah bersifat jadi dan tuntas (exhaustive).[7] Tradisi pemikiran civil society yang kini berkembang di Barat, dapat dilacak dalam tradisi kehidupan demokrasi Athena zaman Pericles,[8] juga dalam gagasan-gagasan para pemikir Yunani kuno, diantaranya Aristoteles (384-322 SM) maupun Marcus Tullius Cicero (106-43 SM). Ia adalah konsep yang bersifat dinamis dan terus berkembang dari abad ke abad dan memiliki lapisan-lapisan sejarah tersendiri sejalan dengan perubahan struktur politik dan formasi sosial masyarakat yang menandai bentuk-bentuk kesadaran dan pilihan tindakan-tindakan masyarakat.
Sebagai teori maupun realitas sosial-politik, civil society telah ada sejak lahirnya konsep tentang negara (state) di zaman Yunani Klasik. Di masa itu, civil society berada pada posisi ’integrated’ dengan negara (state atau polis). Keduanya tidak dibedakan secara tegas atau bisa saling bertukar (interchangeable). Filsuf-filsuf politik Yunani Kuno tersebut lebih bertumpu pada upaya membangun komunitas politik yang partisipatif (koinonia politike) dan kompetitif (societes civilis), yang intinya adalah “perlawanan terhadap alienasi politik dan ketidaktertiban sosial”.
Aristoteles[9] menulis karya klasik, Politics (la politica) yang kini masih dijadikan referensi dalam kajian-kajian ilmu politik.[10] Dalam karya itu, Aristoteles mengemukakan bahwa civil society, -yang bisa diartikan sebgai ”negara” atau ”polis” tidak lain merupakan ”asosiasi dari asosiasi” yang dibentuk berdasarkan pada ikatan-ikatan persahabatan (friendship), loyalitas keagamaan (religious loyality) kepada negara dan diorentasikan selalu untuk meraih kebajikan (civilitation of virtue). Dia juga berpendapat bahwa civil society adalah polis. Kata polis merujuk pada sebuah ’negara kota’ (city state) yang terdiri dari sebuah teritorial (biasanya kawasan berbukit), memiliki sejumlah penduduk yang terdiri dari kaum bangsawan, tentara, pedagang dan budak. Di wilayah polis itu, mekanisme pemerintahan berjalan dan diatur oleh para warganya. Warga masyarakat pada saat yang sama adalah juga warganegara kota dan wajib mengikuti aturan-aturan hukum, norma-norma sosial yang berlaku dan tidak diperkenankan mengganggu warganegara lain. Bahkan makna asal civil society (dari periode klasik hingga era pencerahan) tak lain adalah suatu law-governed state (negara di bawah kepemimpinan hukum). Dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat ancaman, kebiasaan memaksa ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara pra-politik, dinisbatkan kepada karakteristik orang-orang yang hidup di luar polis. Kehidupan polis sendiri dipandang sebagai kehidupan ideal yang diimpikan.
Di polis, sukar untuk mengidentifikasi apa yang dinamakan public sphare (ruang publik) dan private sphare (ruang pribadi). Kegiatan masyarakat adalah kegiatan negara, dan sebaliknya, kegiatan negara adalah kegiatan masyarakat. Deliar Noer mencatat bahwa di masa Yunani kuno, orang membicarakan soal-soal politik, bahkan penentuan kebijakan politik negara, tidak selalu dilakukan di forum-forum resmi, melainkan juga dilakukan di tempat-tempat terbuka.[11] Jadi, politik bukan merupakan wilayah privat yang eksklusif, melainkan sebuah wilayah publik bagi warganegara. Masyarakat sipil di era Yunani Kuno, dengan demikian, mirip dengan ”open society” (masyarakat terbuka).[12] Masyarakat yang memiliki kebebasan berekspresi, inklusif dan otonom. Dengan demikian, pada fase perkembangan awalnya konsep civil society tidak dibedakan dengan konsep negara. Kedua istilah itu bisa dipakai secara bergantian (interchangeable).
Menurut Marcus Tullius Cicero,[13] Istilah civil society berasal dari kosa kata Yunani kuno ”civile” dan ”societatis” –societatis civilis, yang berarti ”masyarakat sipil” atau juga berarti ”masyarakat kewargaan” yang berarti masyarakat damai yang diatur oleh hukum.[14] Konsep societatis civilis yang dikemukakan Marcus Tullius Cicero ini dapat dimaknai sebagai masyarakat yang memiliki ciri keadaban (civility) dan masyarakat kota (urban). Ia menggunakan istilah societatis civilis untuk merujuk pada masyarakat politik. Masyarakat ini memiliki kode-kode hukum dalam mengatur kehidupan mereka.[15] Konsep Marcus Tullius Cicero ini harus dipahami dalam konteks masyarakat Romawi yang tinggal di kota-kota yang mempunyai hukum dan dianggap masyarakat beradab. Masyarakat Romawi merasa diri mereka sebagai masyarakat beradab yang berbeda dengan masyarakat di luar Romawi yang tidak beradab. Dengan kata lain, masyarakat Romawi adalah masyarakat yang memiliki nilai-nilai kesopanan dan tata hukum, sementara masyarakat lain adalah masyarakat yang masih barbar, hidup berpindah-pindah dan berbudaya pra-kota.
Masyarakat Romawi, pada masa Marcus Tullius Cicero hidup, sudah menjalankan sistem domokrasi, walaupun sangat berbeda dengan demokrasi saat ini. Pemerintahan Romawi didasarkan atas pemerintahan rakyat, di mana setiap warga negara mempunyai hak dalam menyampaikan kepentingan, pilihan, dan pendapatnya tentang masalah-masalah kebijakan publik yang dikeluarkan negara.
Demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi langsung. Dalam menentukan keputusan negara, semua masyarakat berkumpul untuk menyampaikan pilihan dan pandangannya. Jika terjadi kebuntuan dalam mencari titik temu, maka dilakukan pemungutan suara (voting) untuk menentukan suara mayoritas. Ini bisa dilakukan karena negara Romawi hanya merupakan sebuah kota (polis) yang memungkinkan semua orang untuk mengemukakan idenya. Saat itu, kebebasan mengeluarkan pendapat, mengkritik penguasa, hak politik dan hukum dilindungi. Walaupun demokrasi saat itu tidak bisa disamakan dengan demokrasi saat ini. Demokrasi pada saat itu hanya untuk pria dewasa, merdeka, terhormat dan punya kekuatan ekonomi, sementara perempuan dan anak-anak tidak memiliki hak politik serta masih berlakunya sistem perbudakan.
Konsep koinonia politike Aristoteles dan societes civilis Cicero yang dianggap sebagai cikal bakal wacana civil society pada dasarnya merupakan gagasan perlawanan terhadap “alienasi politik dan ketidaktertiban sosial”. Proses alienasi politik terjadi di bawah monopoli pengambilan keputusan oleh Dewan Ecclesia negara-kota Yunani kuno yang tidak sejalan dengan sistem demokrasi langsung,[16] dan karenanya diperlukan keterlibatan warga masyarakat yang luas (Aristoteles). Sementara bagi Cicero, sistem demokrasi langsung yang berlaku bagi negara-kota Yunani kuno meniscayakan pertarungan kepentingan di antara komunitas-komunitas dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan memunculkan komunitas yang dominan, untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik.
Kegagalan pengelolaan “medan pertarungan” itu akan mengakibatkan kekacauan dan ketidaktertiban sosial dalam masyarakat. Konsepsi societes civilis Cicero pada dasarnya melawan kecenderungan chaotik akibat pertarungan memperebutkan dominasi di antara komunitas-komunitas dalam masyarakat.
Evolusi gagasan dan pemikiran civil society
Evolusi gagasan dan pemikiran civil society pasca Aristoteles dan Marcus Tullius Cicero terus mengalami perkembangan makna. Sekurang-kurangnya ditemukan 5 (lima) kategori konsep[17] yang menjelaskan pengertian dasar civil society dari abad ke abad.
1.       Civil society sebagai konsep kenegaraan. Konsep ini memandang bahwa eksistensi civil society itu sama dengan negara (state). Civil society bukanlah entitas politik yang berbeda dengan negara, melainkan negara itu sendiri. Pemahaman demikian ini dikembangkan oleh Aristoteles, Marcus Tullius Cicero, Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
2.      Civil society sebagai antitesis negara. Pandangan ini misalnya dikumandangkan oleh Thomas Paine (1792) yang meletakkan posisi Civil society secara diametral berhadapan dengan negara. Otoritas negara hanya absah sepanjang merupakan perwujudan delegasi kekuasaan dari masyarakat untuk kepentingan umum.[18]
3.      Civil society sebagai elemen ideologi kelas dominan. Dalam rumpun pandangan ini adalah Frederich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1937). Bagi Hegel, Civil society atau burgelische gesselschaft merupakan lembaga sosial yang berada di antara keluarga dan negara yang dipergunakan oleh warga untuk memenuhi pemuasaan kepentingan mereka sendiri atau kelompoknya.[19]
4.      Civil society sebagai visi etis kehidupan bermasyarakat. Konsep ini dominan dalam pandangan filsuf Skotlandia, Adam Ferguson (1767), yang mengantisipasi perubahan sosial akibat revolusi industri dan munculnya kapitalisme. Menurut Ferguson, revolusi industri dan kapitalisme berdampak besar pada pembedaan yang mencolok antara ruang publik dan privat.
5.      Civil society sebagai kekuatan penyeimbang negara. Konsep ini dikumandangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) yang dikembangkan berdasarkan pengamatannya terhadap demokrasi di Amerika Serikat.[20] Menurut Tocqueville, Civil society adalah gejala sosial yang posisinya tidak selalu subordinatif terhadap negara. Di dalam diri Civil society terdapat kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara.[21]
Begitulah konsep civil society mengalami evolusi dalam proses kesejarahannya sejalan dengan perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat. Proses evolusi dan perkembangan itu akan terus berlangsung pada masa-masa selanjutnya, karena hakikat Civil society adalah sebagai proses dan tujuan pada dirinya sendiri dalam konteks perubahan sosial. Ia akan selalu berdialog dan berdialektika dengan realitas kesejarahan masyarakat dalam menjawab tantangan-tantangan zaman yang terus berubah.**

REFERENSI
Aristoteles, Politik (la Politica), Penerbit Visi Media , Jakarta 2007.
de Tocqueville, Alexis., Democracy in America, vol. 1, (New York: Alfred A. Knopf, 1994).
Fatah, Eef Saefullah., Prospek Demokrasi di Indonesia, Dahlia, Jakarta 1993.
Gellner, Ernest., Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan, penerbit Mizan, Bandung 1995.
Hikam, Muhammad AS., Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta1996.
Keagan, Donald., Pericles of Athens an the Birth of Democracy, Free Press, New York 1991
Noer, Deliar., Pemikiran Politik Barat, Penerbit Mizan, Bandung 1997.
Sabine, George H., Teori-Teori Politik Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Terj. Soewarno Hadiatmodjo, Penerbit Binacipta, Bandung 1992.
Sajoo, Amyn B., (ed.), Civil Society in the Muslim World, Contemporary Perpective, IB Taurism in association with The Institute of Ismaili Studies London, London, New York 2003.
Suhelmi, Ahmad., Pemikiran Politik Barat, Penerbit Gramedia, Jakarta 2007.
Makalah dan Jurnal
Muhammad AS Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia, Makalah seminar sehari “Mencari Konsep, Keberadaan, dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia”, diselenggarakan oleh LP3ES dan YAPPIKA, di Jakarta, 14 April 1998.
M. Deden Ridwan dan Dewi Nurjuliati (Peny.), Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia Sebuah Laporan dari Penelitian dan Seminar, (Jakarta: LSAF dan TAF, 1999).
Asrori S. Karni, “Pertautan Wacana ‘CS dan ‘Ummah’”, dalam Tasywirul Afkar, Edisi No. 7 Tahun 2000.


[1] Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat, Penerbit Mizan, Bandung 1997.
[2] Zaman Pericles adalah istilah untuk periode di Yunani Kuno yang berlangsung sejak berakhirnya Perang Yunani-Persia tahun 448 SM hingga baik kematian Pericles tahun 429 SM atau berakhirnya Perang Peloponnesia tahun 404 SM. [Donald Keagan, Pericles of Athens an the Birth of Democracy, Free Press, New York 1991].
[3] Perbudakan adalah kehidupan yang lazim di era itu, dimana budak bisa berperan lebih baik seperti karyawan atau pegawai. Namun, ia meungkin bernasib lebih buruk jika berasal dari hasil kalah perang. Aristoteles membenarkan perbudakan karena diasumsikan sebagai bagian dari hukum alam. Karena pandangannya yang membenarkan perbudakan ini Aristoteles sebenarnya sulit dikategorikan sebagai orang yang memperjuangkan demokrasai yang merupakan antitesis dari perbudakan dan diskriminasi ras manusia.
[4] Eef Saefullah Fatah, Prospek Demokrasi di Indonesia, Penerbit Dahlia, Jakarta 1993.
[5] Karena cirinya yang khas Barat, maka gejala ini tidak mudah ditemukan dalam sejarah peradaban lainnya. Oleh karena cirinya yang khas Barat ini, Sherif Merdin menyebut masyarakat sipil (civil society) ini sebagai “impian-impian Barat” (Western Dream) yang dalam makna kata itu terdapat nilai-nilai, ide-ide, dan cita-cita manusia Barat tentang bagaimana dan seperti apa masyarakat seharusnya dibentuk. Karena sifatnya yang khas itulah, Merdin tidak sependapat dengan upaya menerapkan konsep civil society ini dalam konteks lain, misalnya dalam konteks Islam. [Lihat kutipan Amyn B. Sajoo, Introduction: Civic Quest and Bequest, dalam Amyn B. Sajoo (ed.), Civil Society in the Muslim World, Contemporary Perpective. IB Taurism in association with The Institute of Ismaili Studies London, London, New York 2003].
[6] Lihat Aswab Mahasin, “Masyarakat Madani dan Lawan-lawannya: Sebuah Mukadimah”, dalam Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan, Penerbit Mizan, Bandung 1995, hal. xv. Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta 1996, hal. 225.
[7] Lihat Muhammad AS Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia, Makalah seminar sehari “Mencari Konsep, Keberadaan, dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia”, diselenggarakan oleh LP3ES dan YAPPIKA, di Jakarta, 14 April 1998.
[8] Pericles adalah seorang jenderal, politikus dan orator Athena, yang membantu perkembangan seni dan sastra dan memberikan Athena kemegahan yang tidak pernah kembali sepanjang sejarah. Ia melaksanakan proyek besar dan memperbaiki tingkat kehidupan penduduk. Zaman Pericles adalah istilah untuk periode di Yunani Kuno yang berlangsung sejak berakhirnya Perang Yunani-Persia tahun 448 SM hingga baik kematian Pericles tahun 429 SM atau berakhirnya Perang Peloponnesia tahun 404 SM. [Donald Keagan, Pericles of Athens an the Birth of Democracy, Free Press, New York 1991].
[9] Aristoteles (Bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.
[10] Tradisi pemikiran politik Aristoteles, yang hingga kini masih tetap menjadi bahan perdebatan dalam kaitan dengan diskusi civil society, diantara mencakup tema civic republicanism. Civic republicanism adalah pandangan bahwa kemampuan sebuah republik serta kebebasan warganegara ditentukan oleh apa yang disebut Aristotelescivic virtue” dari anggota-anggota warga republik tersebut. [Aristoteles, Politik (la Politica), diterjemahkan dalam Bahasa Ingris oleh benjamin Jowwet dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Syamsur Irawan Kharie, diterbitkan oleh Visi Media , Jakarta 2007].
[11] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Penerbit Mizan, Bandung 1999.
[12] Seperti yang diungkapkan Karl Popper dalam An Open Society and Its Enemies.
[13] Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus, sastrawan, ahli filsafat dan ahli pidato Romawi.
[14] Namun, sesungguhnya civil society adalah sebuah konsep yang multi-intepretatif. Multi-tafsir, mengingat siapapun, sarjana manapun berhak memberikan makna sendiri tentang apakah arti civil society. Sejauh ini tidak ada pengertian baku atas istilah ini. Dan disini letak kontroversinya konsep civil society. Apalagi konsep ini termasuk konsep yang elektik dan dinamik yang pengertian dan karakteristiknya bisa berbeda dari satu fase sejarah ke fase sejarah lain. Tetapi sebagai gambaran sederhana, civil society bisa dilacak dari akar katanya.
[15] Konsep ini kemudian dalam peradaban muslim dipadankan dengan konsep ‘masyarakat madani’. Dalam pandangan cendekiawan muslim, civil society sering diterjemahkan dengan “masyarakat madani”, sebagaimana digunakan oleh Nurcholish Madjid, seorang intelektual muslim terkemuka dan pertama kali dikemukakan oleh Anwar Ibrahim dalam Festival Istiqlal tahun 1995. Kata madani diambil dari al-din (agama) yang berkaitan dengan al- tamaddun yang berarti peradaban. Kedua kata ini menyatu dalam pengertian al-madinah yang artinya “kota”. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madinah adalah masyarakat yang telah diatur oleh hukum, berbudaya, sopan, disiplin, dan mengacu pada kebijakan-kebijakan umum yang baik.
[16] Periksa George H. Sabine, Teori-Teori Politik Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Terj. Soewarno Hadiatmodjo, Penerbit Binacipta, Bandung 1992, khususnya Bab I-VII dari 13 bab yang ada.
[17] Lihat Muhammad AS Hikam, CS dan Masyarakat., hal. 4-5. Bandingkan dengan M. Deden Ridwan dan Dewi Nurjuliati (Peny.), Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia Sebuah Laporan dari Penelitian dan Seminar, (Jakarta: LSAF dan TAF, 1999), hal. 23-29. Juga Asrori S. Karni, “Pertautan Wacana ‘Civil Society’ dan ‘Ummah’”, dalam Tasywirul Afkar, Edisi No. 7 Tahun 2000, hal. 32-33.
[18] Bagi Paine, Civil society musti lebih kuat dan lebih besar dari negara, atau dengan kata lain harus ada supremasi CS atas negara, sehingga ia dapat mengontrol negara demi keperluannya. Semakin besar dan kuat CS berarti semakin besar peluangnya untuk mengatur diri sendiri, dan dalam pada itu akan semakin kecil ruang negara untuk melakukan intervensi dan paksaan-paksaan. Paine inilah yang menjadi representasi terkuat penganut pandangan minimally state yang belakangan populer dengan semboyan “the good government is the less government”.
[19] Dengan kata lain, Civil society dibentuk oleh sistem kebutuhan individu, dan tersusun dari elemen-elemen seperti keluarga, asosiasi/korporasi dan aparat administrasi/legal. Oleh karena itulah Civil society cenderung memburu kepentingan pribadi, bersifat boros dan serakah, tidak kohesif serta tidak mampu mengatasi konflik-konflik di dalamnya melalui politik. Kemampuan politik itu hanya dimiliki oleh negara yang merupakan penjelmaan “ide universal”, dan karena itu, posisinya secara logis mengatasi Civil society.
[20] Periksa Alexis de Tocqueville, Democracy in America, vol. 1, (New York: Alfred A. Knopf, 1994).
[21] Berbeda dengan Hegel, Tocqueville justru memandang Civil society sebagai sumber legitimasi negara (legitimating force), kendati tidak sepenuhnya selalu bisa mengontrol negara.